Kerja Sama Ekonomi Tiongkok-Indonesia Harus Lebih Mengutamakan Nilai Kemanusiaan, Dari Blog Indonesia at Melbourne UoM

Oleh Trissia Wijaya, 16 April 2024

Presiden terpilih Indonesia, Prabowo Subianto, berkomitmen untuk memperkuat hubungan dengan Tiongkok dalam pertemuannya dengan Presiden Xi Jinping pada hari Senin, 1 April. Hal ini mencerminkan kerja sama ekonomi yang lebih erat antara Tiongkok dan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo.

Beberapa proyek kunci Tiongkok di Indonesia termasuk kereta cepat China-Bandung yang baru diluncurkan; taman industri pengolahan nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, dan Halmahera, Maluku Utara; kota ekologis Rempang, sebuah pengembangan pulau seluas 7.000 hektar dekat Singapura; proyek-proyek pembangkit listrik tenaga air besar di Sumatera Utara dan Kalimantan Utara; infrastruktur awan data Huawei dan Alibaba; dan akuisisi terbaru TikTok terhadap platform e-commerce terbesar Indonesia, Tokopedia.

Sebuah laporan terbaru oleh Universitas Griffith dan Universitas Fudan mencatat bahwa Indonesia adalah penerima tunggal terbesar (US$7,3 miliar) dari total investasi Tiongkok sebesar US$20 miliar yang ditanam di Asia Pasifik tahun lalu. Investasi tersebut sebagian besar terkonsentrasi pada proyek-proyek logam dan pertambangan, masing-masing senilai US$2,5 miliar dan US$1,7 miliar.

Bagi para elit nasional Indoneisa, Tiongkok sekarang dilihat secara luas sebagai mitra yang berperan penting, dengan modal dan teknologi yang sangat diperlukan untuk agenda pembangunan yang berpusat pada infrastruktur, digitalisasi, dan kegiatan hilir. Namun, sementara pendanaan Tiongkok telah membantu Indonesia naik ke rantai nilai ekonomis, jelas bahwa proses tersebut datang dengan harga yang tinggi bagi masyarakat setempat dan lingkungan alam, yang menyebabkan eksploitasi, polusi, dan kerugian keanekaragaman hayati.

Biaya manusia dari investasi Tiongkok

Kebangkitan industri pertambangan maupun pengolahan nikel di Indonesia oleh perusahaan pertambangan Tiongkok telah membantu negara ini menjadi produsen baja tahan karat terbesar kedua di dunia. Pabrik pengolahan nikel milik raksasa logam Tiongkok Huayou juga telah meningkatkan kapasitas pengolahan nikel Indonesia.

Meskipun menawarkan keuntungan ekonomi yang signifikan, investasi Tiongkok tercoreng oleh konflik tenaga kerja dan pemindahan penduduk secara paksa. Industri nikel adalah ilustrasi kerja sama ekonomi Indonesia-Tiongkok dan kegagalan kedua belah pihak untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) ke dalam agenda pembangunan masyarakat. Pembangunan masyarakat berfokus pada langkah-langkah komprehensif di luar langkah-langkah pembangunan tradisional yang diarahkan sehingga menangani isu yang memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat.

Indonesia memang memiliki Strategi Nasional tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (SNBHR), yang resmi diterbitkan sebagai Peraturan Presiden No. 60/2023. Ini membimbing para pemangku kepentingan tentang bagaimana memastikan kepatuhan ESG dan melakukan bisnis dengan bertanggung jawab. Implementasi SNBHR didukung oleh sebuah tim, yang terdiri dari kementerian-kementerian terkait, perhimpunan bisnis, dan akademisi – baik di tingkat regional maupun nasional – untuk memastikan praktik bisnis sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Demikian pula, Beijing telah menegaskan komitmennya terhadap ESG. Pada tahun 2022, Komisi Pengawas Sekuritas Tiongkok memerintahkan bursa Shanghai dan Shenzhen untuk mengubah peraturan untuk mengharmonisasi penerbitan obligasi dengan “Prinsip Obligasi Hijau” baru negara tersebut untuk memerangi pencucian hijau.

Kamar Dagang Tiongkok untuk Importir dan Eksportir Logam, Mineral, dan Kimia (CCCMC) juga telah mengakui pentingnya penelitian yang cermat, dan pedoman 2022-nya menekankan ‘kegiatan pertambangan yang bertanggung jawab’ yang sangat mengandalkan pedoman OECD. Selain itu, pada awal tahun 2024, Tiongkok mengungkapkan aturan pengungkapan ESG baru untuk lebih selaras dengan standar global. Aturan tersebut mencakup pelaporan terstandarisasi baru yang mengharuskan perusahaan mengungkapkan imbas sosial maupun lingkungan dari kegiatan mereka.

Namun, kinerja ESG yang kuat sulit dicapai dalam sektor pertambangan dan hilir. Konsep pembangunan kesejahteraan manusia diterapkan begitu luas sehingga nilai kebijakannya dengan mudah dikompromikan. Sementara itu, di tingkat negara, pembangunan kesejahteraan manusia seringkali disatukan dengan konsep pembangunan nasional sehingga segalanya akhirnya menjadi terpisah-pisah melalui lensa sektoral.

Akibatnya, gejolak industri nikel dan baterai tidak lagi tentang melindungi alam dan manusia, tetapi mengamankan sumber daya alam dan menciptakan lapangan kerja – kesejahteraan manusia disamakan dengan kepentingan bangsa dan kapasitas negara untuk mempertahankan kedaulatannya atas sumber daya alam.

Informalisasi Tenaga Kerja Sedang Mengubah Profil Risiko

Banyak yang telah dikomentari tentang kinerja ESG perusahaan Tiongkok di Indonesia. Namun, jauh lebih sedikit tentang struktur ekonomi politik yang mendasari aktivitas bisnis ini – seperti hubungan tenaga kerja, jaringan informal, dan bagaimana interaksi antara para elit dan lembaga memungkinkan praktik ESG perusahaan Tiongkok dan mitra bisnis Indonesia mereka.

Sebagai contoh, telah ada pelanggaran yang diduga terhadap hak-hak pekerja Tiongkok dan Indonesia di Kawasan Industri Nikel Morowali (IMIP) – kawasan industri nikel terbesar negara ini.

Perusahaan pengolahan nikel mendelegasikan agensi perekrutan tenaga kerja untuk merekrut pekerja. Biasanya, pekerja ini tidak diberikan kontrak tertulis dan diperkenalkan dengan pekerjaan oleh teman dari desa yang sama, kerabat, atau iklan online di platform Tiongkok WeChat.

Menurut pekerja Tiongkok, paspor mereka ditahan, mereka menderita penyakit pernapasan dan kehilangan ingatan, dan dipaksa untuk bekerja lebih dari 12 jam per hari. Dari pihak Indonesia, kurangnya manajemen lokal dan aturan kesehatan dan keselamatan kerja yang buruk secara konsisten diangkat sebagai perhatian terbesar. Beberapa perusahaan di IMIP menggunakan tungku yang perawatannya buruk dan menunjuk pekerja Tiongkok menduduki jabatan administrator keselamatan meskipun hampir tidak bisa berbicara dalam bahasa lokal.

Pada akhir Desember 2023, ledakan di IMIP menewaskan 18 orang – sepuluh pekerja Indonesia dan delapan pekerja Tiongkok – dan melukai puluhan orang lainnya. Namun, meskipun adanya keluhan dan petisi dari masyarakat sipil, kasus-kasus tersebut cepat ditutup, dengan subkontraktor dan supervisor tungku Tiongkok yang bertanggung jawab. Jaringan politik dan ekonomi berbasis di kementerian-kementerian terkait, di antara pembuat kebijakan, dan di pemerintah daerah yang memungkinkan hal ini tetap tidak terganggu.

Kondisi-kondisi ini merupakan proyeksi praktik tenaga kerja beberapa perusahaan Tiongkok di tanah air, yang ditandai oleh outsourcing, atau casualisasi, tenaga kerja yang luas melalui sistem subkontrak yang rumit, tingkat persaingan yang rendah, dan kurangnya keselamatan kerja dan transparansi secara umum.

Namun, kondisi tenaga kerja bukanlah satu-satunya penyebab masalah. Penegakan hukum dan kebijakan pengaturan ketenagakerjaan adalah faktor penting untuk membentuk kembali rezim tenaga kerja Tiongkok. Tetapi pada saat yang sama, otoritas nasional Indonesia, yang kepentingannya terkait erat dengan industri hilir, jarang mempromosikan reformasi yang bisa membuat kesejahteraan manusia relevan dengan pasar tenaga kerja yang terderegulasi yang melayani gebrakan nikel. Ini memberikan jalan bagi perusahaan yang tidak bertanggung jawab – lokal maupun Tiongkok – untuk memperoleh keuntungan dari eksploitasi tersebut.

Politik Sertifikasi Lingkungan

Di bidang lingkungan, Bank Ekspor-Impor Tiongkok telah berjanji mendukung kebijakan tidak ada pembangunan pembangkit listrik batu bara baru di luar negeri. Namun, celah-celah hukum memungkinkan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara khusus di kawasan industri. Ironisnya, sebagian besar pembangkit tersebut menggerakkan smelter dan fasilitas produksi baterai yang sangat penting bagi visi pemerintah Indonesia untuk menjadikan negara ini sebagai pusat kekuatan EV dan transisi energi global.

Di lapangan, dampak negatif dari pembangkit listrik luar jaringan ini terlihat jelas. Empat belas pembangkit listrik tenaga batu bara khusus menyuplai energi bagi tiga kawasan industri Tiongkok di Pulau Obi, Morowali, dan Teluk Weda, dengan total kapasitas 12,6GW. Manajemen limbah yang buruk di lokasi-lokasi tersebut telah menyebabkan kerugian keanekaragaman hayati, polusi udara, maupun penurunan kualitas air yang telah secara dramatis memengaruhi perikanan dan mata pencaharian masyarakat setempat.

Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan Tiongkok telah mengembangkan serangkaian program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk meningkatkan citra mereka dan mempromosikan langkah-langkah sosial dan lingkungan mereka. Program-program tersebut bermacam-macam bentuknya, dari pembangunan sekolah dan masjid hingga perbaikan jalan dan reboisasi alias penghijauan kembali. Pada tahun 2022, untuk pertama kalinya, Kamar Dagang Tiongkok di Indonesia mengeluarkan laporan penelitian kewajiban yang mensosialisasikan program CSR yang sukses diadakan oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok termasuk PT IMIP dan PT Virtue Dragon Nickel Industry. Tentu saja adopsi CSR adalah langkah positif, tetapi implementasi yang buruk membuatnya tidak efektif sebagai sarana untuk mengatasi masalah sosial dan lingkungan yang didasari struktur politik-ekonomi Indonesia.

Alasannya berbagai macam. Pertama, masih ada terlalu banyak pemberi pinjaman di Indonesia yang terus membiayai pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara. Bank-bank milik negara membingungkan mandat pembangunannya dengan tujuan komersial dan memutuskan untuk mendanai proyek-proyek smelter dan pembangkit luar jaringan yang telah disebut “proyek strategis nasional”.

Kedua, penerbitan izin usaha di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Omnibus (UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja). Di bawah undang-undang baru tersebut, penilaian aplikasi izin terjadi melalui pendekatan berbasis risiko, di mana setiap bisnis dinilai berdasarkan potensi bahaya. Bisnis dengan klasifikasi risiko tinggi, seperti pertambangan, perlu memperoleh sertifikasi dari pemerintah pusat atau daerah untuk memastikan mematuhi standar yang berlaku.

Namun, eskalasi sertifikasi ke tingkat pemerintah yang lebih tinggi tidak selalu menjamin kinerja lingkungan. Majalah Tempo baru-baru ini melaporkan banyak kesepakatan berisiko tinggi yang telah direkayasa oleh sekelompok kecil elit politik. Dengan keadaan demikian penilaian adalah “politik seperti biasa”, dengan pemberian izin menjadi hasil kompromi yang disepakati antara politisi, bisnis, dan pialang. Risiko direkonstruksi, membahayakan kesejahteraan masyarakat maupun kesehatan lingkungan.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Perlu diingat bahwa ekonomi politik tersebut tidak hanya terjadi pada investasi Tiongkok di Indonesia. Proyek-proyek yang terkait dengan Tiongkok terus-menerus menjadi sorotan karena besarnya investasi ini. Namun, model investasi asing ini banyak diterapkan dalam konteks ‘berbisnis di Indonesia’, di mana celah peraturan dan kekuasaan diskresi elit politik memberikan perlindungan kepada perusahaan yang tidak bertanggung jawab.

Sektor-sektor unggulan lainnya, seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara, misalnya, sarat dengan kelompok elite dan jaringan broker yang bekerja untuk mempertahankan kepentingan mereka melalui perluasan kekuasaan negara, sehingga tidak lagi mengutamakan kesejahteraan masyarakat.

Tidak diragukan lagi kehadiran Tiongkok di Indonesia masih kuat. Selain industri nikel, ada serangkaian proyek baru yang sedang direncanakan, termasuk “Dua Negara, Taman Kembar”, yang akan membangun jaringan kawasan industri yang saling melengkapi di kedua negara, dan proyek infrastruktur ramah lingkungan, seperti investasi besar pada kemampuan produksi hilir panel tenaga surya.

Saat investasi tersebut mulai beroperasi, sebuah kekuatan koalisi yang mampu menegaskan pendapat yang lebih kuat mengenai isu-isu kesejahteraan masyarakat sangatlah penting untuk memaksimalkan manfaat kerja sama. Negara tidak boleh bertindak hanya sebagai pintu gerbang untuk menarik investasi, tetapi sebaikan bertindak juga sebagai penjamin kesejahteraan bagi masyarakat yang paling terkena dampak proyek-proyek tersebut.

Menetapkan dan menegakkan kode etik dan mekanisme uji tuntas bagi investor dan pemangku kepentingan dapat menjadi titik awal. Sejak tahun 2010, Indonesia telah menjadi anggota Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI), sebuah standar global untuk mendorong pengelolaan sumber daya minyak, gas, dan mineral yang terbuka dan akuntabel. Dalam laporan EITI terbarunya, Indonesia mengungkapkan pendapatan dan pembayaran sosial untuk perusahaan-perusahaan domestik dan Tiongkok, namun laporan tersebut juga dapat mencakup pengungkapan dari perusahaan-perusahaan nikel yang saat ini sedang diawasi.

Walaupun ini merupakan langkah yang tepat, jauh lebih banyak yang perlu dilakukan.

Sumber: China-Indonesia economic cooperation cannot continue to overlook human security – Indonesia at Melbourne (unimelb.edu.au)

Morowali Industrial Park in Central Sulawesi. Photo by Mohamad Hamzah for Antara. China-Indonesia economic cooperation cannot continue to overlook human security – Indonesia at Melbourne (unimelb.edu.au)

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending

Discover more from the Indonesian Translation Service

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue Reading