Diplomasi Gaya Menlu Downer: Kalau Tidak Berhasil, Membuli Lagi
Oleh Hamish McDonald, Redaksi Asia-Pasifik, The Sydney Morning Herald, 12 Juli 2008
Email dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan terus berdatangan beberapa kali sehari. Isinya: transkrip pernyataan dalam berbagai kesempatan serta informasi lokasi di mana Menlu Australia bisa dicegat wartawan berikutnya. Menariknya, hal ini tidak terjadi pada Menlu Stephen Smith dari Partai Buruh. Politisi asal kota Perth ini terlalu hati-hati, terlalu irit kata. Singkatnya, terlalu diplomatis.
Sementara itu, gaya bicara Alexander Downer—Menlu Australia selama lebih dari 11 tahun—sudah sangat kita kenal. Cerewet, penuh sindiran, kadang terlalu blak-blakan hingga menyerempet hinaan pribadi. Mau tak mau, setiap lampiran email tentang pernyataannya tetap saja dibuka, kalau-kalau ada sesuatu yang menarik.
Tapi kini, Downer telah lengser dan akan meninggalkan parlemen. Daripada memperdebatkan apakah ia figur besar dalam sejarah diplomasi Australia atau sekadar karikatur ala Inspektur Clouseau, mari kita lihat apa yang ia sebut sebagai “pencapaian terbesarnya”—Timor Leste.
Dalam tulisannya di The Sydney Morning Herald kemarin, Downer mengklaim bahwa ia adalah sosok di balik surat terkenal dari Perdana Menteri John Howard kepada Presiden BJ Habibie pada Desember 1998. Surat yang mengusulkan jalan keluar atas konflik yang memanas di Timor Leste saat itu.
Dari tulisan Downer, bisa disimpulkan bahwa surat itu menjadi landasan bagi referendum PBB pada Agustus 1999, yang kemudian berujung pada penarikan pasukan Indonesia yang destruktif beberapa minggu setelahnya.
Namun, kenyataannya, surat tersebut lebih bersifat taktik diplomatik—usaha menunda keputusan final dan meredam tuntutan kemerdekaan. Pemerintah Australia saat itu berharap bahwa jika Indonesia diberi waktu lebih lama untuk mengelola situasi, Timor Leste pada akhirnya akan memilih tetap bergabung dengan Indonesia.
Surat itu menggunakan model Perjanjian Matignon dan Noumea antara Prancis dan kelompok-kelompok di Kaledonia Baru pada tahun 1988 dan 1998, yang memberi otonomi lebih luas dan menunda referendum antara tahun 2013 dan 2018.
Namun, reaksi Habibie jauh dari yang diharapkan. Ia marah besar, menilai surat itu melecehkan Indonesia dengan membandingkannya dengan kekuatan kolonial Eropa. Tak lama kemudian, pada Januari 1999, ia memutuskan untuk langsung menggelar pemungutan suara bagi rakyat Timor Leste—pilihannya hanya dua: tetap dengan Indonesia atau merdeka. Opsi kompromi dibuang begitu saja, dan menolak kemungkinan membuang-buang dana selama 20 tahun ke depan dengan upaya merubah sikap pendukuk Timor Leste itu.
Sepanjang bulan-bulan penuh kekerasan menjelang referendum, Downer tetap berpegang teguh pada strategi “diplomasi cerdas” yang didorong oleh kepala departemennya, almarhum Ashton Calvert. Australia enggan mengirim pasukan penjaga perdamaian sebelum situasi benar-benar tak bisa dikendalikan.
Kalau saja militer Indonesia dan kelompok milisinya berhasil menekan rakyat Timor Leste agar memilih otonomi ketimbang kemerdekaan, sangat mungkin Australia akan menerima hasil tersebut tanpa banyak protes.
Senin depan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Timor Leste, Jose Ramos Horta, akan merilis laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan tentang kekerasan tahun 1999. Tapi mereka yang paling bertanggung jawab atas kekerasan itu tetap tak tersentuh hukum.
Sebagian besar ini karena sikap Downer dan sekutunya yang menolak penyelidikan serius oleh PBB. Mereka hanya memberikan dukungan setengah hati dan membiarkan pengadilan di Jakarta menjadikan perwira kelas menengah sebagai kambing hitam, sementara tokoh-tokoh besar tetap bebas.
Namun, alasan utama mengapa tak akan ada “Jalan Downer Sang Liberator” di kota Dili berakar pada negosiasi sengit antara Downer dan pemerintah Timor Leste tentang sumber daya minyak dan gas di Laut Timor.
Dalam bukunya Shakedown, Paul Cleary—mantan anggota tim negosiasi PBB—menggambarkan bagaimana Downer menggunakan taktik intimidasi untuk menekan Timor Leste agar menyerahkan 80 persen hak atas ladang gas terbesar di wilayah sengketa.
Dalam salah satu pertemuan, Downer bahkan membanting meja dan berkata kepada Perdana Menteri Timor Leste saat itu, Mari Alkatiri, “Kami tak perlu mengeksploitasi sumber daya itu. Itu bisa saja dibiarkan di sana selama 20, 40, bahkan 50 tahun.”
Namun, Timor Leste dan PBB bersikeras dan akhirnya berhasil mendapatkan kesepakatan yang jauh lebih menguntungkan dalam perjanjian sementara yang ditandatangani pada tahun 2006.
Peter Galbraith, mantan diplomat AS yang menjadi penasihat PBB dalam negosiasi itu, masih ingat bagaimana ia datang ke Adelaide pada tahun 2000 untuk memberi tahu Downer bahwa Timor Leste ingin meninjau ulang perjanjian Celah Timor yang sebelumnya disepakati Indonesia pada tahun 1989.
“Entah kenapa, Downer merasa sangat terhina dengan permintaan itu,” kata Galbraith. “Dalam pertemuan itu, ia terus-menerus ingin menunjukkan bahwa dirinya lebih sukses daripada ayahnya, sementara saya kurang sukses dibandingkan ayah saya. Ada drama psikologis yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan negosiasi.” (Galbraith adalah putra ekonom ternama JK Galbraith, sementara ayah Downer, Sir Alexander Downer, adalah Menteri Imigrasi di era Perdana Menteri Robert Menzies.)
“Dalam negosiasi minyak itu,” lanjut Galbraith, “Downer menggunakan pendekatan yang merendahkan dan menekan Timor Leste serta PBB. Akibatnya, ia menjadi salah satu tokoh paling dibenci di Timor Leste.”
“Ia merusak reputasi Australia dan akhirnya malah mendapatkan kesepakatan yang lebih buruk bagi negaranya. Jika saja pendekatan yang lebih diplomatis digunakan, masalah ini bisa diselesaikan lebih cepat dan Australia mungkin akan mendapat porsi minyak yang lebih besar.”
Galbraith, yang kini menjadi penasihat senior kampanye Barack Obama, menambahkan, “Menjadi Menlu dengan masa jabatan terlama di Australia bukan berarti menjadi Menlu yang terbaik.”
“Ia mungkin tak akan gagal sebagai perunding di Siprus,” kata Galbraith, merujuk pada jabatan baru Downer sebagai utusan khusus PBB. “Karena kalau ada peluang nyata untuk perdamaian antara Yunani dan Turki di Siprus, PBB tak akan menunjuk Downer untuk tugas itu.”
In related news:
- https://www.theguardian.com/uk-news/2025/jul/22/cables-reveal-uk-view-on-howards-personality-australias-part-in-kyoto-awkward-squad-and-an-aborted-cricket-match
- Pemerintah Australia Tadinya Ingin Timor Leste Tetap Jadi Bagian NKRI, Detik.com, 29 August 2019
- https://www.kompas.com/global/read/2025/10/26/091359970/sah-timor-leste-jadi-anggota-ke-11-asean-usai-penantian-14-tahun





One response to “Déjà Vu: Diplomasi Gaya Menlu Downer: Kalau Tidak Berhasil, Membuli Lagi Oleh Hamish McDonald”
[…] https://storiesfromindonesia.com/2008/07/12/op-ed-diplomasi-gaya-menlu-downer-kalau-tidak-berhasil-m… […]
LikeLike