Si Jamal, Si Jamal

Cerpen Karya Mochtar Lubis (1950)

Beberapa kawan pernah mendakwa aku hanya mengejek-ngejek, mentertawakan dan mencemoohkan si Jamal dengan ceritera-ceriteraku tentang dia. Apa gunanya engkau tulis ceritera-ceritera demikian tentang si Jamal, kata mereka padaku. Kasihan dia menjadi buah tertawaan dan ejekan orang. Mereka agak marah juga. Dapat aku Iihat. Sungguh-sungguh aku harus mengaku terus-terang, bahwa sama sekali tidak ada maksudku untuk mengejek dan mencemoohkan, atau mentertawakan. Malahan sebenarnya tidak pernah aku menulis tentang si Jamal, dengan tidak merasa hormat dan cinta padanya, kepada sifat-sifatnya yang membikin dia menjadi si Jamal.

Apalagi aku tahu pula mengejek, mencemoohkan dan mentertawakan si Jamal, atau juga orang lain, sama sekali tidak ada gunanya. Țidak ada manfaatnya, baik bagi yang mengejek, maupun bagi yang diejek. Dan orang lain hanya menjadi jemu karenanya.

Aku suka tertawa. Tertawa terbahak-bahak, lepas-lepas, tidak ditahan-tahan. Dan mengajak orang tertawa. Mengajak si Jamal ikut tertawa. Tertawa pada dirinya sendiri, pada engkau, pada semua orang, pada dunia dan penghidupan ini, dan pada akhirnya, tentu pada diriku sendiri. Karena itu, selamanya si Jamal tidak pernah aku lepaskan dari perhatianku. Karenanya, hidupnya, kelakuannya, semuanya itu adalah kelakuan dan sifat-sifat manusia yang hidup.

Sifat-sifat semua orang dan aku juga. Dan jika kita tidak tertawa pada diri sendiri, bagaimana hidup di dunia ini akan bisa riang dan bahagia?

Aku sendiri agak heran mengapa kawan-kawan itu sedikit marah padaku menulis ceritera-ceritera si Jamal, sedang si Jamal sendiri, setiap kali bertemu dengan aku, tidak pernah marah atau memperlihatkan kekesalan hatinya. Malahan dia sendiri ikut pula geli, atau acap kali merasa bangga membaca ceritera tentang dia. Mungkin mereka yang marah itu merasa terkena. Entahlah. Tetapi biarlah kawan-kawan itu marah, asal si Jamal tetap tidak berubah. Ada sebuah lagi yang hendak aku katakan, yaitu bahwa si Jamal ini bukan manusia fantasi pikiranku saja. si Jamal sungguh-sungguh ada. Dia bertubuh dan berjiwa, tidak ubahnya seperti saja sendiri, atau tuan sendiri. Dan semua ceritera si Jamal ini juga sungguh-sungguh terjadi, tidak dilebih-lebihkan sedikitpun juga. Karena sifat-sifat dan kelakuan si Jamal yang aku ceriterakan itu adalah sifat-sifat dan kelakuan orang yang sungguh-sungguh pula.

Sebuah lagi sifat si Jamal yang amat aku kagumi ialah rasa optimismenya yang seperti bola karet tenaga melambungnya. Bagaimana juga kekecewaan, kesedihan, senantiasa si Jamal dapat melambung riang kembali.

Ceritera sedikit di atas itu perlu untuk mencegah salah paham yang mungkin timbul karena ceritera si Jamal hendak pergi ke Den Haag ini. Barangkali banyak pula kawan-kawan yang akan marah padaku.

Sebagai telah aku ceriterakan dahulu, ketika aku hendak pulang kembali ke Jakarta dari Jogja, pada pemulihan Pemerintah Republik ke Jogja, si Jamal berkata di lapangan terbang Maguwo bahwa dia dapat tugas mengurus orang-orang yang akan pergi ke Den Haag menghadiri Konperensi Meja Bundar.

Demikianlah dia datang ke Jakarta, dan memang sering aku lihat dia di kantor delegasi. Selamanya sibuk, mengepit sebuah tas kulit baru sekarang, baju baru, dan sebuah topi pandan, bekas topi gerilya kota yang belum ditanggalkannya. Kenang-kenangan kepada bergerilya kota, katanya padaku. Beberapa lama dia tidak sempat mengobrol panjang-panjang dengan aku, karena kerjanya menyusun daftar ini dan itu, daftar voorschot para anggota delegasi yang akan pergi, daftar voorschot anggota serap delegasi, voorschot anggota staf delegasi, voorschot penasihat delegasi. Semuanya dapat voorschot, kata si Jamal. Kemudian daftar uang harian di negeri Belanda nanti. Kalau anggota, dapat lebih banyak dari yang lain, kata si Jamal. Kemudian daftar orang-orang yang mesti dicacar. Beberapa orang sudah marah padaku, kata si Jamal, karena mula-mula dia masuk daftar dan dicacar, tetapi sudah dicacar dan demam dua hari, maka namanya dicabut kembali oleh Bung Hatta. Tetapi mereka marahnya padaku, katanya mcngangkat bahu. Daftar mereka yang harus dibikinkan baju tebal. mantel, kopor, dan sebagainya perbekalan. Daftar mereka yang harus berangkat dengan pesawat terbang nomor satu, nomor dua, nomor tiga, nomor empat. Ah, pusing kepala, tetapi mesti dikerjakan, kata si Jamal.

Aku sebenarnya sudah bosan orang-orang Republik ini, kata si Jamal pula, ketika dia tidak begitu sibuk membikin daftar lagi. Tahu engkau, apa yang tidak aku jual untuk membantu perjuangan kemerdekaan ini membantu ini dan itu… tetapi apa gunanya aku ceriterakan semuanya, tidak baik membongkar-bongkar kebaikan diri sendiri, bukan? Apalagi engkau tahu perjuanganku, bukan?

Hari berangkat ke Den Haag mangkin dekat. Beberapa hari belakangan ini aku lihat si Jamal seakan-akan amat gelisah. Duduk dia tidak bisa lama-lama, dan aku lihat mukanya sedikit pucat, seakan-akan orang yang kurang tidur. Engkau terlalu keras kerja, Jamal, kataku padanya, engkau kurus dan pucat.

Kemudian dengan tiba-tiba dia berkata padaku, engkau tahu apa yang terjadi kemaren?

Tidak, kataku, ada apa?

Aku ditenungkan kawan, katanya. Aku lahir bulan Agustus, dan menurut kawan itu, dalam beberapa hari ini, aku akan ditawarkan untuk melakukan perjalanan menyeberangi lautan, dan supaya tawaran itu aku terima saja dengan segera, karena akan membawa keberuntungan padaku. Sekarang aku ragu-ragu, apakah aku akan ditawarkan ikut ke Den Haag ini, atau barangkali ke tempat lain. Mungkin pamanku yang di Makassar akan memanggil aku kembali, karena pertunanganku dengan anaknya telah agak lama juga.

“Ah, engkau memang kepingin mau ikut ke Den Haag, jangan berpura-pura,” kataku.

“Tidak, katanya sungguh-sungguh, bagiku sama saja pergi atau tidak.”

“Nah, mana yang lebih beruntung bagimu pergi ke Den Haag, atau ke Makassar kawin dengan tunanganmu itu?”

“ltulah yang aku belum tahu, katanya, kalau aku terima panggilan ke Makassar dan aku terus terjebak kawin di sana, bagaimana. Kan celaka, hilang kemerdekaan, sedang kalau ke Den Haag kita menerima kemerdekaan sebagai kata Mr. Yamin.”

Dan dia tertawa terkekeh-kekeh, seperti monyet tua sakit perut. Tetapi tentu tidak aku katakan padanya.

Esoknya aku bertemu lagi dengan si Jamal di kantor delegasi. Dari jauh dia sudah memanggil.

Engkau tahu, apa yang terjadi kemaren? tanyanya.

„Tidak,” kataku, „Ada apa?”

Kemaren aku bicara lama juga dengan Bung Sjahrir. Dan Bung Sjahrir berkata, bahwa jika aku ada kesempatan pergi ke Den Haag, baik juga aku pergi, karena banyak gunanya. Hingga sekarang, aku pikir-pikir baik juga aku pergi barangkali.”

“Oh!”

“Engkau jangan salah mengerti. Aku juga tahu kita jangan seratus persen membabi buta ke Den Haag, seperti kata Mr. Sumanang di rapat Persatuan Wartawan di gedong AMVJ baru-baru ini, dan di sini sekarang amat banyak pekerjaan menunggu. Hanya aku ingat keterangan-keterangan Bung Sjahrir itu. Perlu aku pergi ke Den Haag.” katanya.

Esoknya aku bertemu lagi.

“Engkau tahu apa yang terjadi kemaren?”

“Tidak,” kataku. “Ada apa.

“Namaku sudah tercatat di daftar undangan RVD,” kata si Jamal, “hanya belum disampaikan mereka padaku.”

Pergilah urus ke sana cepat-cepat,” kataku.

“Tetap barusan si Wim Latumeten (kepala bahagian pers delegasi Republik, penulis) mengatakan, bahwa soal undangan itu sudah diserahkan oleh RVD pada Penerangan. Hingga aku jadi ragu, mau pergi ke mana.”

“Masa begitu sukar, kataku padanya, kalau engkau sudah diundang, sabar sajalah. Tunggu saja mereka datang menjemputmu.”

“Soal tunggu soal gampang, katanya, tetapi aku toh mesti sedia pakaian, sedia ini dan itu. Memang dasar organisasi delegasi Republik ini tidak beres,” kata si Jamal marah.

Aku pergi cepat-cepat.

Kemudian lama aku tidak berjumpa dengan si Jamal. Hatta telah berangkat. Delegasi yang lain telah berangkat. Dan kantor delegasi sudah agak sepi, si Jamal tidak pernah aku lihat lagi di sana. Aku sangka dia telah berangkat juga ke Den Haag.

Karena itu kaget juga aku pada suatu hari bertemu dengan dia di Pasar Senen, sedang membeli pisang goreng di sebelah bioskop Rex.

“Heei Jamal,” seruku padanya, “engkau di sini? Tidak jadi ke Den Haag?”

“Ah, tidak,” kata si Jamal tersenjum riang. “Mengapa kita ikut berduyun-duyun ke Den Haag itu. Buang-buang tempo, di sini banyak kerja bukan.”

Dia tidak gelisah lagi. Sungguh gembira.

“Apa kerjamu sekarang?” tanyaku.

“Belajar,” jawabnya tertawa.

“Belajar?”

“Ya, aku belajar huruf Kanji atau tulisan Tionghoa sekarang,” jawabnya tersenyum rahasia.

Aku tahu, bahwa senyum rahasia dan superior si Jamal akan keluar, jika aku tanya apa yang hendak aku tanyakan. Tetapi aku tanya juga.

“Mengapa huruf Kanji?”

Senyum rahasia dan superiornya timbul membayang di mulutnya, dia membungkuk, berbisik padaku.

Mao Tse Tung sudah dekat, bung!”

Bukankah telah aku katakan, si Jamal ini pintar?


Source: Si Djamal Si Djamal (Young Jamal, Young Jamal) is a story from the short story collection of Lubis, Mochtar. Si Djamal : dan tjerita2 lain / oleh Mochtar Lubis Gapura Djakarta 1950, p. 57.

Featured image credit: Round Table Conference in The Hague [The Federal Delegation (BFO)? Standing in the middle Prime Minister W. Drees] – http://hdl.handle.net/10648/a8c28f34-d0b4-102d-bcf8-003048976d84 – 23 August to 2 November 1949.

Trending

Discover more with Stories From Indonesia

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue Reading