Si Djamal Dan Buku-Buku

Cerpen Karya Mochtar Lubis (1950)

Tahukah engkau, kata Djamal kepadaku, bahwa dengan beladjar sendiri dapat dipelajari apa saja?

Masa, kataku. Bisakah engkau mendjadi dokter beladjar dari buku-buku saja?

Bisa, katanya. Tentu cuma engkau tidak akan mendapat diploma dokter, tetapi pengetahuanmu tidak akan kalah dengan apa saja yang diketahui dokter-dokter yang berdiploma itu.

Masa, kataku, aku tidak percaja, kalau cuma dokter buku saja, apa gunanya.

Itulah, maksudku, katanya, bahwa teori kepandaian itu bisa dipeladjari sendiri, tidak perlu bersekolah terlalu tinggi-tinggi, dan tidak semua orang yang bertitel Ir, dr, Mr, dan Prof. sebenarnya sepintar bayangan yang diberikan titel mereka itu.

Itu, kataku, aku tidak bantah, karena abangku sendiri keluaran sekolah master, tetapi Iain tidak kerjanya hanya menjual sawah orang tuaku saja, dan perkaranya belum satu kali yang menang.

Nah, itu bukti yang dekat, katanya.

Apa maksudmu, kataku.

Bukti kataku yang tadi, katanya.

Oh, kataku.

Mengertikah engkau sekarang maksudku? tanyanya.

Aku mengerti, tetapi aku belum percaja, kataku.

Nantilah, engkau dapat melihat aku sendiri yang membuktikannya, katanya.

Bagaimana? tanyaku.

Supaya orang lebih mengerti tentang ceritera ini, lebih baik aku ceriterakan lebih dahulu tentang si Djamal ini.

Ia lahir di Padang Pandyang di Sumatera Barat. Orang tuanya mantri-hewan. Dia seoranglah anak orang tuanya yang laki-laki, dan ada seorang adiknya perempuan. Aku tidak hendak mengatakan apakah kemalangannya atau keuntungannya, tetapi ia dilahirkan di tahun yang menyebabkan ketika ia telah besar, ia berada ditengah-tengah gelombang perhatian besar kepada agama yang acap timbul di Sumatera Barat itu sekali lima tahun, atau sekali dua tahun, atau sekali tujuh tahun. Aku tidak tahu benar sekali berapa tahun, tetapi ketika dia telah tamat sekolah desa, maka persis ketika tahun dia keluar sekolah itu pergerakan agama sedang menghebat benar di seluruh Sumatera Barat.

Di mana-mana timbul madrasah-madrasah seperti jamur, dan banyak Islamic College didirikan di mana-mana, hingga di sebuah desa yang tidak lebih dari 2,000 orang penduduknya didirikan orang sebuah Al-Islam University namanya. Barangkali kalau dia dilahirkan dua atau tiga tahun lebih dahulu, maka mungkin tidak teringat kepada ayahnya untuk memasukkannya ke dalam salah sebuah lslamic College itu, dan ayahnya akan merasa puas dengan pendidikan agama Islam yang diterimanya sambil mengaji di surau saja. Dan mungkin ayahnya akan mencoba memasukkannya ke dalam Sekolah Rendah yang berbahasa Belanda, dan karena itu mungkin perjalanan hidupnya akan bertukar sama sekali.

Tetapi, sebagai telah aku ceriterakan, entah malangnya entah untungnya, dia dilahirkan dua atau tiga tahun terlalu lekas atau terlalu terlambat.

Demikian dia dimasukkan ke dalam sebuah sekolah yang diberi nama Modern Islamic College. Dalam prospektus sekolah itu diterangkan, bahwa guru kepalanya keluran sekolah Al-Azhar Universitas di Mesir.

Murid-murid yang diterima mulai lepasan sekolah desa, sekolah H.I.S. dan sekolah Mulo, akan dibagi-bagi dalam “first standard”, “second standard”, “third standard”, dan junior dan senior college, menurut pengetahnan mereka dan kepandaian mereka tentang agama Islam.

Benar-benar ditulis demikian dengan bahasa Inggris. Akan diajarkan di samping pelajaran-pelajaran agama Islam, juga soal-soal politik, ekonomi, sosial, bahasa Arab, Inggris, dan Prancis. Setelah tamat sekolah ini, bisa meneruskan pelajaran dengan langsung ke Al-Azhar University di Kairo.

Hanya tidak disebutkannya bahwa guru kepala yang dari Al-Azhar itu memang dari Kairo dan dari Al-Azhar University, tetapi hanya setahun dan masih lama belum selesai sekolahnya. Dan bahwa kalau hendak masuk ke Al-Azhar Umversity di Kairo itu, pandai membaca Kuran saja pun bisa, asal mau beladjar berpuluh tahun lamanya.

Tetapi bagaimanakah mantri-hewan, ayah si Djamal, itu akan mengetahui ini semua, soal-soal yang tersembunyi dibelakang kata-kata Inggris dan gambar-gambar gedung-gedung yang indah-indah di Kairo yang dipasang di dalam prospektus sekolah Modern Islamic College itu?

Demikianlah Djamal dimasukkan ke dalam sekolah itu. Bagi dia sendiri, sekolah itu telah maha hebat. Dia mendapat sebuah insinye sekolah, tiga segi berdasar hijau dengan gambar bulan sabit dan bintang kuning ditengah-tengahnya dan dalam huruf Arab nama sekolah, Modern Islamic College. Dibayar oleh orang tuanya, serupiah setengah harganya.

Guru bahasa Inggris, Prancis dan Jerman mereka seorang guru keluaran sekolah Mulo. Dia sungguh-sungguh hendak mengajar, tetapi dia sendiri tidak begitu mengetahui apa yang diajarkannya itu, hingga pengetahuan murid-muridnya bertambah-tambah gelap lagi. Meskipun demikian, murid-murid sekolah itu telah merasa bangga sekali mengenal kata-kata Inggris seperti: I, you, he, she, me, sir, good morning, good evening, school, book, pen, dan sebagainya.

Di sekolah yang demikianlah Djamal bersekolah, tempat dia mendengar nama-nama Socrates, Karl Marx, Adam Smith, Revolusi Prancis, Manifesto Politik, dicampur-campur dengan nama-nama Rabindranath Tagore, Umar Khayam, teori-teori Islam, demokrasi Islam, sosiahsme lslam, komunisme lslam, kapitalisme Islam, Islam dan Dunia, dan sebagainya. Dan sebagainya, didengarnya setiap hari, memanggil-memanggilnya, tetapi tidak pernah dapat dicapainya benar-benar, tidak pernah dapat dipeluknya benar-benar, jika rasa-rasanya telah hampir dekat hendak terpeluk, melepas diri, menjauh berlari, dan memanggil-manggil kembali. Karena guru-guru mereka tidak cakap! Bagi setengah murid-murid, keadaan yang demikian menjadi siksa dan penyakit hati dan pikiran, tetapi bagi setengah yang lain, mengenal nama-nama dan teori-teori itu sekeping-sekeping menimbulkan rasa sombong dan besar kepala, dan mereka menganggap diri mereka telah amat pintar.

Si Djamal terombang-ambing di antara kedua perasaan ini. Benar hatinya dan pikirannya merasa tersiksa karena pengetahuan yang serba kurang, tetapi sebaliknya, dia merasa bangga dapat menyebut-nyebut nama-nama orang-orang yang hebat-hebat itu, dan membacakan sehalaman pertama Manifesto Komunis dengan lancar, dengan tidak usah berpikir-pikir.

Hingga akhirnya pada suatu hari, ayahnya meninggal dunia, kena ditanduk kerbau gila yang mesti diperiksanya. Dan Djamal terpaksa meninggalkan sekolahnya. Sebenarnya tidak perlu dia meninggalkan sekolahnya, karena “mamaknya” (paman) bersedia untuk meneruskan sekolahnya. Tetapi pikiran-pikiran baru yang diterimanya di sekolah menimbulkan kebenciannya kepada adat “mamak-kemenakan” Minangkabau itu, dan satu jalan untuk menunjukkan “revolusi djiwanya” ialah menolak pertolongan mamaknya itu.

Dia pergi ke Djakarta, dan di Djakartalah aku bertemu dengan dia. Kami berkenalan mula-mula dalam sebuah toko buku tua. Aku sedang mencari-cari buku-buku cowboy dan roman-roman detektip, karena itulah yang suka sekali aku baca. Sedang aku memilih-milih, tiba-tiba aku mendengar dia berkata dari bawah lantai, “Maaf saudara, bolehkah saya ambil buku dari bawah sepatu saudara ini?”

Aku melihat ke bawah dan aku lihat dia sedang mencangkung di lantai, kepalanya terulur ke bawah mencoba membaca nama buku yang aku injak itu.

Aku tersenyum, “Tentu boleh,” kataku, dan aku angkat kakiku.

“Buku apa itu,” tanyaku.

Dia berdiri mengangkat buku itu, dan menepuk-nepuknya dengan tangannya, membersihkan debu. Aku tidak ingat benar lagi nama buku usang itu, tetapi kalau aku tidak salah namanya Teori Hubungan Antara Psikologi Manusia Dengan Ekonomi Dunia” atau begitu dalam bahasa Jerman. Matanya bercahaya-cahaya melihat buku itu.

Demikianlah kami berkenalan, dan aku tanya kepadanya, “Saudara suka benar rupanya kepada buku-buku.”

“Amat suka,” katanya.

“Datanglah kerumahku sekali-sekali,” kataku, “saudara pilih mana buku-buku yang hendak saudara baca.”

Dia merasa girang sekali aku ajak, dan dia berjanji akan datang.
Aku telah lupa kepadanya ketika pada suatu hari dia datang. Aku bawa dia ke kamarku.

“Pilihlah mana yang saudara mau,” kataku, menunjuk ke lemari buku, ke rak, ke meja tulis. Dia pergi mencari-cari. Seperempat jam kemudian dia bertanya, tidak adakah yang Iain? Sudah komplit semuanya di sana, kataku, apa yang tidak ada, ceritera cowboy, roman detektip, ceritera perang?

“Bukan itu maksudku,” katanya, “buku-buku ilmu pengetahuan yang berat-berat?”

“Tidak suka aku membaca buku-buku demikian,” kataku.

“Oh,” katanya, seperti orang kecewa.

Kemudian dia mengajak aku datang ke rumahnya. Diperlihatkannya kepadaku kumpulan buku-bukunya. Apa yang tidak ada. Pendeknya sebuah musium akan cemburu melihat buku-bukunya itu. Buku-buku tua yang tidak pernah dibaca orang lagi ada padanya. Dari ilmu tabib, ilmu hukum, teknik sosial, ilmu jiwa, politik, sejarah, ilmu bumi, ilmu manusia, ilmu barang antik, ilmu apa lagi, hingga kesusasteraan. Tetapi aku perhatikan buku-buku sastranya hanyalah mengenai puisi saja. Aku lihat Byron, Shakespeare, Oscar Wilde, Robert Browning, Keats, dan sebagainya dalam berbaris-baris, dan beberapa puluh buku-buku lagi bahasa Spanyol, Prancis dan Jerman.

Oh, kataku, saudara membaca buku-buku Perancis, Inggris, Jerman, Belanda dan Spanyol?

“Tidak,” katanya, “tidak aku baca. Aku baru sedang menyelesaikan pelajaran bahasa Inggrisku sedikit-sedikit. Buku-buku yang Iain itu aku beli, biarpun tidak dapat aku baca sekarang, nanti kalau aku sudah bisa berbahasa Jerman, Prancis atau Spanyol, bukankah bisa aku baca,” katanya.

“Tetapi bagaimana saudara tahu, kalau sekarang saudara tidak tahu apa isi buku itu, saudara akan suka membacanya nanti,” tanyaku?

“Dapat aku rasa,” katanya.

Kemudian dia menunjukkan kepadaku, sebuah pekerjaan “besarnya”. Dari dalam lemarinya dikeluarkannya sebuah buku yang dijilid dengan bagus, tebal dan besar, setebal dua jilid Encyclopadia Brittanica dibikin jadi satu.

“Ini,” katanya, “aku sedang menyusus sebuah kamus.”

“Oh,” kataku, “kamus apa?”

“Kamus, bahasa Indonesia-Arab-lnggris, dan Inggris-Arab-lndonesia,” jawabnya. “Lihatlah,” katanya, dan dibukanya buku itu. Aku lihat telah kira-kira lima halaman yang dimulai dengan huruf A yang telah ditulisnya. Ditulisnya dengan tangan, halus-halus dan bersih-bersih, perkataan Arab dengan huruf Roma kemudian dengan huruf Arab.

“Oh, saudara ahli bahasa juga,” kataku.

“Tidak,” katanya dengan tersenyum. “Tidak ada yang lebih mudah daripada membuat sebuah kamus,” katanya, “mengapa hingga sekarang belum ada kamus bahasa Indonesia yang baik, saya tidak mengerti.”

Lalu dia menerangkan sistimnya menyusun kamusnya itu. Dia mempergunakan tiga buku kamus, katanya, kamus bahasa Inggris-Belanda, Belanda-lndonesia/lndonesia-Belanda (karya van Ronkel) dan kamus Arab-Inggeris/Inggris-Arab.

Nah, katanya, ambil kata bahasa Indonesia sebuah, cari apa bahasa Belandanya, kemudian cari bahasa Inggrisnya, dan dari bahasa Inggris cari bahasa Arabnya. Sudah sebuah kata. Demikian seterusnya.

Oh, kataku.

Kemudian dia menceriterakan cita-citanya yang lain lagi. Dia hendak mengarang sebuah buku tentang filsafat Barat dan Timur, katanya. Selama ini orang hanya membaca atau filsafat Barat saja, atau filsafat Timur saja, katanya, tetapi aku hendak membikin sebuah buku yang mengandung kedua filsafat itu, dan sintesenya, yah, aku hendak mengarang sebuah filsafat baru, katanya. Apabila hendak engkau karang? tanyaku.

“Nanti, jika telah aku baca semua buku-buku ini,” katanya, menunjuk memuat sekeliling kamar itu dengan tangannya.

Demikianlah persahabatan kami. Dia memperlihatkan insinye-sekolahnya, prospektus sckolahnya yang disimpannya baik-baik: dan karena itulah aku tahu ceritera sekolahnya itu.

Ketika Jepang kalah dan revolusi pecah, ia menghilang entah ke mana, hingga pada suatu waktu aku pergi ke Jograkarta.

Aku bertemu dengan dia di depan setasiun, ketika aku hendak kembali ke Jakarta. Pertama-tama kali aku dilihatnya, yang dikatakannya kepadaku ialah tentang bukunya. “Aduh, aduh,” katanya, “bukuku sebahagian besar tertinggal di Jakarta, tetapi untunglah yang penting-penting aku bawa semuanya,” katanya.

“Apa kerjamu sekarang,” kataku. Dan sebentar kemudian aku merasa menyesal telah bertanya demikian, karena dia terus mulai membicarakan “rencana ekonominya,” keluarlah teorinya tentang “planned economy”, liberalisme telah usang, komunisme dan socialisme belum matang di sini, dan sebagainya.

Dari pembicaraannya aku tahu, bahwa dia rupanya telah dapat duduk di sebuah dewan perancang Republik, Brains Trust disebutnya nama dewan itu. Kawan-kawan yang Iain tidak ada yang tahu betul-betul tentang teori-teori ekonomi, katanya, untunglah aku mempunyai kumpulan buku-buku yang dahulu itu.

Ketika kereta api yang akan ke Jakarta hendak berangkat, dia dengan bergegas-gegas menulis di atas secarik kertas dan mendorongkan kertas itu ke dalam saku bajuku. Kalau engkau ke mari lagi, teriaknya menenggelamkan gemuruh peluit lokomotip, bawakan buku-buku itu.

“Baiklah,” kataku.

Setelah kereta berangkat, aku keluarkan kertas itu, dan aku baca nama-nama buku yang ditulisnya. Keadaan Ekonomi Saksenburg Dalam Abad Ke-12 oleh Prof.— entah siapa namanya dalam bahasa Jerman. Perang Ekonomi Dalam Abad Pertengahan. Sebuah Teori. Oleh seorang profesor juga, dalam bahasa Prancis. The Republic, dalam bahasa Inggris oleh seorang Junani, siapa lagi namanya itu. Gambar-gambar Kapal Perang, dalam bahasa Inggris. Dan sebuah buku kimia tentang membikin bermacam-macam barang, hingga ke alat-alat peledak.

Buku-buku itu aku bawakan ketika aku pergi lagi ke Jogjakarta. Dan kemudian setiap kali aku bertemu dengan dia, dia suka berceritera mengingatkan sebuah kejadian dalam rapat Brains Trust, bagaimana dia mengalahkan seseorang yang mendebatnya, dengan menyebutkan bahwa teori perang ekonomi yang dipertahankannya itu adalah teori seorang profesor yang bernama ini, ini, ini. Hanya tidak disebutnya bahwa teori itu ialah sebuah teori tentang perang ekonomi dalam abad pertengahan, ketika belum ada kapal terbang, kapal api, mobil, blokade laut, udara dan darat, dan sebagainya.

Dan belakangan ini, aku dengar dia masih terus membikin rencana-rencana ekonomi yang hebat-hebat, bagaimana mesti memupuk devisa di luar negeri, mengatur produksi dan konsumsi, mengatur perhubungan buruh dan majikan, perhubungan tentara dan rakyat, pendidikan pemuda, perundingan Indonesia-Belanda, dan sebagainya berdasar buku-buku lamanya itu.

Dan kamusnya aku dengar baru bertambah sepuluh perkataan sejak waktu diperlihatkannya kepadaku beberapa tahun yang lalu, sebab sekarang terlalu amat banyak kerjanya, katanya. Dan dia djuga belum sempat mempelajari bahasa-bahasa Jerman, Prancis, dan Spanyol. Tetapi sekarang dia sedang mengumpulkan buku-buku bahasa Rusia. Dan dia telah membeli buku belajar bahasa Rusia sendiri, dua jilid, dan semua buku-buku itu akan dibacanya nanti, jika dia telah beladjar bahasa-bahasa asing itu.


Source: Si Djamal Dan Buku-Buku (Young Jamal And His Books) is a story from the short story collection of Lubis, Mochtar. Si Djamal : dan tjerita2 lain / oleh Mochtar Lubis, Gapura, Djakarta, 1950, p. 5.

Featured image credit: circa 1955, Source Jassin, H.B. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay. Gunung Agung: Jakarta. 1955. Page in title. https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d6/Mochtar_Lubis_Kesusastraan_Modern_Indonesia_p216.jpg

Procession with children in the presence of Lieutenant Governor General Van Mook on Medan Merdeka in Jakarta, near the palace of the G.G., Indonesia (1947) – https://resolver.kb.nl/resolve?urn=urn:gvn:NFA02:cas-10300-3

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending

Discover more with Stories From Indonesia

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue Reading