Drama, Delusi, dan Bahaya Rencana Gaza Trump

6 Februari 2025 | Rami G. Khouri

Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menunjukkan kombinasi khasnya antara disrupsi dan delusi dengan usulan mengejutkan pada 4 Februari lalu: Amerika Serikat akan mengambil alih dan membangun Jalur Gaza setelah menggusur penduduk Palestina ke tempat yang tidak diketahui. Usulan ini hampir tidak mungkin terealisasi, tampaknya tidak lahir dari kajian kebijakan yang serius dalam pemerintahan Trump, dan mengguncang dasar-dasar yang telah diasumsikan dalam perdamaian Arab-Israel selama setengah abad terakhir.

Namun, usulan ini sejalan dengan kebijakan Amerika terhadap Palestina-Israel selama ini dan memperjelas sejumlah poin penting dalam politik global, termasuk nilai-nilai kebijakan luar negeri AS, posisi lemah Palestina dan dunia Arab saat ini, pengaruh Zionisme/Israel di AS dan dunia, serta jejak panjang kolonialisme Barat yang masih bertahan.

Aspek paling mengkhawatirkan dari usulan Trump ini adalah bagaimana Amerika Serikat dan Israel kini semakin nyata beroperasi sebagai satu tim dalam menggunakan kekuatan militer besar untuk bertindak semena-mena di Timur Tengah dan mungkin wilayah lain. Usulan Trump ini, yang tampaknya spontan dan tanpa kajian mendalam, tidak memberikan rincian serius mengenai masa depan Gaza dan penduduk Palestina yang asli, sehingga tidak ada gunanya membuang waktu menganalisis gagasan yang tidak berdasar.

Yang lebih penting adalah bagaimana aliansi Amerika-Israel ini semakin memperjelas penghancuran tatanan hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional yang diciptakan pasca-Perang Dunia II untuk mencegah terulangnya kejahatan seperti Holocaust Nazi terhadap orang Yahudi Eropa.

Israel selama ini telah mengabaikan perlindungan hukum dan moral ini dalam tindakannya di Palestina dan Timur Tengah, dengan menyerang, menduduki, dan menganeksasi wilayah Arab tanpa konsekuensi berarti, serta menghancurkan kehidupan jutaan orang.

Amerika Serikat dan negara-negara Barat pada umumnya hanya bereaksi dengan “keprihatinan” terhadap aksi Israel, baik dalam membangun permukiman ilegal, mencaplok wilayah Palestina, maupun membunuh warga sipil. Namun, hanya AS yang secara konsisten menyediakan dukungan finansial, militer, dan diplomatik yang memungkinkan Israel melanjutkan kebijakan kolonialnya sejak 1967.

Pemerintahan Joe Biden, misalnya, telah berperan dalam memungkinkan genosida yang terjadi di Gaza. Kini, AS bahkan melangkah lebih jauh dari sekadar terlibat pasif, menjadi inisiator penuh dalam rencana “kejahatan terhadap kemanusiaan” ini untuk pembersihan etnis Palestina dari Gaza.

Hal ini menjadikan AS dan Zionisme/Israel sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian dan stabilitas global dalam dua aspek utama. Pertama, bahaya penyerangan, pendudukan, dan pembersihan etnis terhadap kelompok yang menolak rencana Amerika-Israel. Kedua, dampak korosif dari dukungan pemerintah AS terhadap manipulasi Israel terhadap kebebasan berbicara dan hak-hak sipil di Barat. Ini mengikis hak-hak dasar seperti kebebasan berekspresi, persamaan hak, hak-hak proses peradilan yang adil, serta akses terhadap pendidikan tinggi berkualitas, yang kini harus tunduk pada tuntutan Zionisme/Israel yang dianggap lebih penting dari hak-hak konstitusional di AS, Inggris, dan negara-negara Barat lainnya.

Sikap kasar dan kejam Trump terhadap Palestina mencolok karena skalanya yang dramatis dan pengabaian total terhadap komitmen Washington selama setengah abad terhadap solusi dua negara. Namun, ini bukanlah sesuatu yang baru dalam kebijakan AS. Sejak berdirinya Israel pada 1947-1948, kebijakan Washington selalu lebih mendukung tujuan Zionisme dibandingkan hak-hak setara bagi warga Israel dan Palestina. Amerika terus menerus mendiskreditkan, mendiskriminasi, dan menolak hak Palestina atas martabat, agensi, dan penentuan nasib sendiri—seperti yang telah dikonfirmasi oleh pemerintahan Biden maupun Trump.

Selama satu abad terakhir, kebijakan AS dan Inggris membiarkan Israel bertindak tanpa konsekuensi di seluruh Timur Tengah, sekaligus mengendalikan kebijakan luar negeri negara-negara Barat sesuai keinginannya. Kini, proposal Trump yang ekstrem menunjukkan bahwa AS telah meningkatkan perannya sebagai pelindung warisan imperialisme Barat di Timur Tengah ke tingkat yang lebih tinggi: pendudukan militer langsung atas tanah Palestina serta pembersihan etnis terhadap penduduknya, sambil memaksa negara-negara seperti Yordania dan Mesir untuk menampung pengungsi Palestina. Hal ini membahayakan stabilitas negara-negara tersebut, mengingat penolakan besar rakyat mereka terhadap inisiatif AS-Israel ini. Rezim-rezim ini sangat bergantung pada bantuan militer dan ekonomi dari AS, yang dapat dengan mudah dimanfaatkan Trump sebagai alat tekanan, dengan risiko besar mengguncang stabilitas mereka.

Bahaya lain adalah bahwa AS-Israel mungkin menunggu hingga pertukaran tahanan di Gaza selesai dalam beberapa bulan mendatang, lalu kembali menekan warga Palestina untuk meninggalkan Gaza dengan pembatasan baru, serangan udara, dan kelaparan sistematis—seperti yang telah dilakukan tentara Israel selama 16 bulan terakhir. Langkah ini bisa diperparah dengan pembatasan impor yang membuat warga Gaza tidak dapat membangun kembali kehidupan mereka setelah perang genosida yang dilakukan Israel.

Makna yang lebih luas dari langkah-langkah ini adalah bahwa AS dan Israel kini tengah bereksperimen dengan metode baru untuk menekan negara-negara Arab dan rakyatnya agar tetap berada dalam status ketergantungan terhadap imperialisme. Banyak negara kecil di dunia patut khawatir bahwa imperialisme abad ke-21 versi Amerika-Israel ini, yang diterapkan dengan kekuatan militer dan ekonomi, dapat menyebar ke wilayah lain.

Sebagian besar dampak dari usulan Trump ini masih belum sepenuhnya jelas dan akan berkembang selama beberapa bulan mendatang. Meski begitu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio berusaha meredam reaksi internasional dengan menyatakan bahwa pengusiran warga Palestina hanya bersifat sementara. Namun, sebuah survei baru-baru ini menunjukkan bahwa tujuh puluh persen warga Israel mendukung pengusiran warga Palestina dari Gaza. Ini berarti bahwa gagasan tersebut tidak hanya mencerminkan pandangan ekstremis sayap kanan Zionis, tetapi juga dukungan luas dalam masyarakat Israel. Karena itu, perlawanan terhadap rencana Trump ini menjadi semakin penting—baik untuk mempertahankan hak-hak Palestina maupun menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah.

Sumber: https://arabcenterdc.org/resource/the-drama-delusion-and-dangers-of-trumps-gaza-plan/.

Pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan posisi resmi Arab Center Washington DC, staf, atau dewan direksinya.

In related news:

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending

Discover more with Stories From Indonesia

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue Reading