Ancaman
Cerita Pendek Karya H.G. Ugati (1969)
Perlahan ia membuka pintu dan angin malam masuk mengikutinya. Kedua anak itu berhenti berkejaran di sela-sela kursi.
“Ibu belum pulang,” anak perempuan berumur dua tahun itu melapor. la melihat arlojinya sambil menutup pintu dan kemudian berjalan menuju anak itu.
“Sebentar Iagi dia pulang,” jawabnya sambil duduk dan memegang lengan anak itu, yang memegang tangan kursi yang didudukinya. la mengusap-usap kepala anak itu.
“Sudah gelap, ibu belum pulang,” abang anak itu mencampuri.
“Sebentar Iagi dia pulang, tunggulah di kamar sambil tidur. Nanti dia pulang bawa kue,” ia membujuk. Kedua anak itu diam memandanginya.
“Pergilah tidur,” katanya Iagi. la melihat kemudian kedua anak dengan selisih umur setahun itu pergi ke kamar dengan malas.
Ia menjulurkan tubuhnya di kursi sambil melihat lagi jarum arlojinya. “Tujuh lima belas; satu seperempat jam telah lewat,” katanya dalam hati. “Apa yang akan mereka perbuat?” ia bertanya pada dirinya sendiri.
Ia mengambil rokok dari sakunya dan kemudian mengisapnya pelan-pelan. Ia kemudian mendengar pintu kamar dibuka dan ditutup dengan kasar. Dan beberapa detik kemudian isterinya telah duduk di depannya di seberang meja.
“Bagaimana?” isterinya bertanya tajam.
Ia memperbaiki letak duduknya dan kemudian membuang abu rokoknya ke asbak. Isterinya benar-benar jengkel melihat sikapnya.
“Ke mana dia pergi?” kemudian ia bertanya.
“Aku tidak mengurusi ke mana dia pergi. Sekarang kau harus cepat mengambil keputusan sebelum terlambat.”
“Tadi pagi sudah saya katakan, saya tidak mau menyuruhnya pergi. Apa lagi?”
“Kita akan mati, rumah ini akan dibakar orang,” isterinya berteriak kesal.
“Saya sudah katakan dahulu padamu sebelum dia kita bawa kemari; ancaman seperti yang kita terima tadi pagi mungkin saja kita terima. Kita telah menyadarinya sejak sebelum kita berbuat dahulu.”
“Kau pertaruhkan nyawamu untuk ini. Kalau demikian, aku yang meninggalkan rumah ini sekarang,” isterinya bangkit dan berlari ke kamar. Ia memadamkan api rokoknya dan menyusul isterinya.
Ia lihat isterinya telah membuka lemari dan sebuah kopor kulit tergeletak terbuka dekat mulut pintu lemari itu.
“Dengarkan,” katanya sambil mendekati isterinya. Ia lihat kedua bibir isterinya mengatup rapat dan agak menonjol ke depan.
“Saya minta pengertianmu,” katanya lembut.
“Tidak, tidak, kau tidak usah bicara lagi. Aku pergi sekarang.” Ia diam dan memperhatikan isterinya yang terus memasukkan pakaian ke dalam kopor.
“Apa yang mendorongmu pergi? Takut?” suaranya penuh wibawa. Istrinya mengambil baju kebaya yang tergantung di kapstok.
“Saya tidak mau mati konyol,” isterinya menjawab dan kemudian bibirnya merapat lagi.
“Siapa pun tidak mau mati konyol. Seharian ini saya sibuk mencari penyelesaian. Siang tadi saya menghubungi kepala kampung dan menunjukkan surat ancaman itu. Saya katakan padanya ini bukan yang pertama kali. Ia berjanji akan menyelesaikannya.”
“Silakan kau menunggu janjinya dia penuhi. Aku tidak mau selamanya hidup dalam ancaman.”
Ia lihat isterinya menutup kopor. Tapi kemudian wanita itu bangun dan kembali membuka lemari dan mencari-cari sesuatu di bawah lipatan kain. Sebuah kalung emas ia temukan dan cepat memakainya. Beberapa lembar kain ia pilih-pilih lagi dan memasukkan ke dalam kopor. Ketika ia menunduk kalung itu tergantung dan terayun-ayun. Ia membukanya, sebentar menggenggamnya dan kemudian memasukkannya ke sudut kopor.
Ia perhatikan isterinya yang terus sibuk itu.
”Dahulu kita diancam karena aku menentang pe-ka-i. Sekarang yang kau tentang dahulu itu kau bela. Kita dituduh komunis.”
”Siapa yang membela?” cepat ia menjawab hingga suaranya hampir bersamaan dengan ujung kalimat isterinya. ”Saya bukan membela pe-ka-i, korban yang ditimbulkannya saya tolong. Peristiwa itu telah menanam benih-benih dendam. Kita harus berbuat sebisa mungkin agar benih itu jangan tumbuh.”
”Dahulu suaminya membencimu setengah mati, mengancammu. Sekarang setelah dia mati kau memberi makan isteri dan anak-anaknya.”
”Persoalan itu telah selesai. Kita punya kewajiban terhadap anak-anak yang ia tinggalkan. Kita tidak dibenarkan sembahyang dan setelah itu ramai-ramai menonton anak yatim yang kelaparan. Ia tidak tahu apa-apa tentang idiologi suaminya. Dia telah jadi korban.”
”Dia rasakan sendiri, buat apa ditolong?”
”Harta benda mereka habis dihancurkan oleh kemarahan yang tak terkendali. Apa pun tak mereka punyai lagi sekarang. Puluhan tahun yang akan datang, anak-anaknya akan dewasa dan akan membalas dendam, kalau dari sekarang tidak kita urus dengan baik-baik. Bencana yang lebih besar dari apa yang telah kita alami itu akan terjadi.” Ia terus berusaha menjelaskan, tapi isterinya seolah tak mendengarkannya. Penjelasan seperti ini ia katakan juga kepada orang-orang lain. Tapi jarang sekali orang bisa menerimanya.
la lihat isterinya menekan-nekan tutup kopor dan mengancingnya. Tapi tidak bisa, kopor itu demikian penuh. Isterinya membuka kopor itu lagi dan memperbaiki susunan kain di dalamnya. Beberapa lembar kain ia keluarkan dan perkecil lipatannya.
“Saya telah mencarikannya kerja, barangkali dia bisa membantu, menjadi pembantu rumah tangga,” tiba-tiba saja katakatanya keluar.
“Buat apa dicarikan kerja? Kawini saja lebih baik. Dia kan bekas pacarmu dahulu. Payah-payah.” Sebentar ia melihat pada isterinya mendengar kata-kata itu. la tidak pernah terpikir isterinya berpikiran demikian.
“Saya tidak pernah bermaksud demikian Ida…. Demi Allah.”
“Buat apa bersumpah…. Tidak perlu!”
“Dahulu ia meninggalkan saya, karena menganggap terlalu miskin buat suaminya. la kawin dengan Jamal anak orang kaya itu. Tapi malang, Jamal tidak mendapat warisan dari orangtuanya, karena orangtuanya menganggap Jamal telah keluar dari Islam. Murtad. Sebelum kita kawin telah saya jelaskan padamu.
“Sekarang Jamal telah mati, kau bisa mengawininya.”
“Kau berpikir yang bukan-bukan.”
“Kau mengingini ibunya. Jalan yang paling mudah untuk itu berpura-pura menolong anak-anaknya. Saya malu…. Malu….
Tetangga tiap hari menyindirku.” la dengar şuara isterinya bergetar.
“Kau difitnah….”
“Fitnah…? Orang sebelah melihat kalian berdua dalam satu becak. Fitnah?”
“Sudah saya katakan, saya mencarikannya kerja. Saya antarkan dia ke rumah seorang teman yang bisa menolongnya. Mungkin sekarang dia ke sana.”
“Kalian telah berjanji sejak dari rumah, tapi kemudian pergi sendiri-sendiri, bertemu di jalan sana dan kemudian naik becak bersama-sama. Kalau kau jujur buat apa berbuat demikian… buat apa?”
“Kau benar Ida…. İtü salah saya. Saya juga malu dilihat tetangga. ”
“Buat apa malu-malu, kalau kalian mau kawin…?”
“Tidak Ida… percayalah.”
Kopor itü belum juga bisa dikancing isterinya. Tutup kopor itü ia injak dengan sebelah kakinya dan tangannya menarik tali kulit yang membelit kopor itu. la lihat isterinya mengerahkan seluruh tenaganya menarik tali kulit itu. Tapi usahanya tidak berhasil. Wajah wanita itü makin cemberut. Bintik-bintik keringat terlihat di dahinya.
la mendekati isterinya, memegang tali kulit itü dan dengan mudah ia menariknya hingga cantelannya maşuk pada lobang terakhir pada ujung tali. la tersenyum memandang pada isterinya, tapi senyum itü cepat hilang ketika ia lihat isterinya mengangkat kopor itu setelah meraih selendang dari sandaran kursi.
“Jadi kau benar-benar mau pergi Ida…?” ia bertanya ketika isterinya mulai melangkah.
“Jadi kau kira aku main-main?” ia lihat isterinya bergerak ke luar, tapi ketika ia akan membuka pintu kamar dengan tangan kirinya, ia berhenti.
“Katakan nanti pada janda muda itu aku telah pergi….” Ia tatap isterinya dalam-dalam. Lama pandangan mereka bertemu. Isterinya ia lihat belum keluar.
“Baiklah kalau memang ini suatu keputusan. Saya tidak bisa memaksa orang lain untuk ikut terseret guna mempertahankan suatu keyakinan yang saya miliki, biarpun orang lain itu isteri saya. Tapi saya selalu berusaha untuk menjelaskan.”
Ia lihat isterinya belum juga keluar. Kopor itu tetap ia jinjing. Ia mendekati isterinya. Tiba-tiba isterinya memandang kepadanya.
“Pesanmu tidak akan saya sampaikan. Saya tidak pernah punya niat untuk mengawininya.” Keduanya diam. Isterinya telah menunduk lagi. Kopor itu tetap ia jinjing. Tiba-tiba isterinya mengangkat muka dan beberapa detik pandangan mereka bertemu. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi, tiba-tiba mereka telah berpelukan erat dan isterinya menangis di dadanya. Ia memapah isterinya ke tempat tidur. Ia membelai-belai kepala isterinya.
“Sudah enam tahun kita kawin, tapi saya belum bisa memberimu anak,” ia dengar suara isterinya putus-putus di sela isakannya.
“Sudahlah, jangan dipikirkan itu selalu.”
“Kita diejek dan dipencilkan tetangga dari pergaulan, tapi kau tetap mempertahankannya di rumah ini. Saya selalu berpikir lain. Saya cemburu, karena dia bekas pacarmu.”
Ia mengusap-usap punggung isterinya yang terus menangis.
“Saya tahu kita dibenci oleh tetangga yang tidak mau mengerti, tapi saya yakin Tuhan tersenyum senang memandang pada kita.”
Belum sempat ia melanjutkan ucapannya ketika tiba-tiba di luar terdengar jeritan seorang wanita dan kemudian disusul oleh teriakan-teriakan.
“Peka-iiiiii; peka-iiiiii,” suara itu sangat ramai.
Cepat ia keluar dan berlari ke kamar depan. Ia ingin melihat dari balik gorden jendela. Tapi sebelum sempat membuka gorden itu sebuah batu telah menghantam pecah kaca jendela. Ia merebahkan diri tiarap ke lantai dan beberapa batu lagi ia dengar menghantam jendela dan dinding. Teriakan di luar terus terdengar. Ia memberanikan diri dengan berlindung pada dinding merangkak ke arah pintu. Ia mencoba membuka pintu.
“Dengarkan… saya jelaskan,” ia berteriak kuat.
“Peka-iiiii,” terdengar lagi teriakan. Beberapa batu terus menghantam dinding.
“Jangan lempar dahulu, saya ingin jelaskan pada saudarasaudara.”
“Peka-iiiii.”
Pintu telah ia buka dan ketika hendak melangkah ke luar, tangannya telah dipegang oleh isterinya. Ia menghentakkan tangannya, tapi isterinya menangkapnya lagi.
“Kau mau mati? Jangan keluar,” isterinya memeluknya. Ia mencoba melepaskan pelukan itu.
“Lepaskan…,” katanya sambil menghentakkan tangannya dari pegangan isterinya. “Aku ingin jelaskan pada mereka, justru kita orang Islam, bukan komunis.”
“Mereka kalap, orang kalap mana yang bisa mendengar penjelasan?” Tiba-tiba sebuah batu besar menghantam tiang pintu. Keduanya serentak meniarapkan diri ke lantai. Beberapa batu lagi terdengar mengenai dinding dan disusul teriakan-teriakan yang menyakitkan hati. Kedua anak di kamar itu menangis ketakutan mendengar teriakan-teriakan dan keramaian itu.
Pelan-pelan isterinya merangkak meninggalkannya. Sebentar kemudian sunyi, tak ada teriakan-teriakan, tapi ia dengar suara wanita menjerit sambil menyumpah-nyumpah. Beberapa orang terdengar tertawa. Hatinya begitu panas mendengar jerit dan tertawa itu. Ia ingin segera keluar ke tempat wanita itu.
Dengan terbongkok-bongkok ia menuju ke belakang ke arah dapur. Dari sana dia keluar dan mencoba mendekati tempat wanita itu. Empat orang lelaki nampak mengerumuninya daIam gelap yang samar-samar. Ia mengurungkan niatnya untuk bergerak lebih dekat.
”Peka-iiiii,” tiba-tiba seorang berteriak. Teriakan itu disusul olehyang Iain bersama-sama. Serentak dengan itu beberapa batu terdengar mengenai dinding rumah. Dalam teriakan-teriakan itu terdengar suara wanita itu menjerit dan menyumpah-nyumpah. Beberapa orang tertawa senang. Hatinya makin panas, apalagi ketika kemudian ia dengar suara jeritan yang sangat kuat dan menyayat. Kemudian sunyi. Sesekali masih terdengar batu satu-satu mengenai dinding. Lama kemudian tak seorang pun lagi ia lihat dalam keremangan malam di depan rumahnya. la bangun dari persembunyiannya dan mendekati tempat wanita itu. la lihat wanita itu mencoba bangun dengan susahpayah dari dalam parit.
”Ani…,” ia memanggil seperti berbisik.
”Oh….” la dengar suara wanita yang telah berdiri di dalam parit dan berusaha naik ke luar. la menolongnya naik dengan memeluknya. Dalam gelap itu sebentar mereka berpandangan. la teringat pada kata-kata isterinya.
”Mereka memukulimu?” ia bertanya. Wanita itu diam tidak menjawab.
”Mari…,” katanya sambil memapah Ani ke halaman rumah. Sambil berjalan ia dengar tetangganya telah banyak yang keluar rumah dan berbicara di depan rumahnya masing-masing.
la mendudukkan Ani di kursi. Pipinya lebam dan kebayanya koyak-koyak. la lihat kemudian isterinya keluar dari kamar membopong kedua anak itu. Si kecil menangis kuat ketika melihat ibunya. Ida berusaha membujuknya, tapi ia merontaronta minta dilepaskan. Kedua anak itu memburu ibunya di kursi. Ani menangis memeluknya. Ia dan isterinya memperhatikannya dengan sedih. Tiba-tiba Ani mengangkat mukanya memandang pada Ida, dan kemudian pada kebayanya yang telah koyak.
“Lebih baik besok kami pergi…, menyusahkanmu di sini.”
“Ke mana kau akan pergi?” Ida memotong dan suaranya bergetar di kerongkongannya. Ani tidak menjawab. Ia melap air matanya lagi. Kedua anaknya memandang heran padanya. Pada pipi anak lelakinya pelan-pelan menggelinding butir air mata.
“Jembatan masih banyak di kota ini, kami bertiga bisa tidur di bawahnya,” jawab Ani dan serentak dengan itu ia menangis seperti anak kecil sambil memeluk kedua anaknya. Ida mendekatinya sambil memegang bahunya.
“Masuklah ke kamarmu, kau tak boleh pergi. Kami akan berdosa membiarkanmu hidup di bawah jembatan. Masuklah ke kamarmu.” Ida memapah Ani ke kamarnya sambil menyeka air matanya.
Ia lihatlagijarum arlojinya. Jarum-jarum itu telah menunjukkan delapan lewat lima belas. Ia pandangi seluruh ruangan. Di bawah jendela berserak pecahan kaca. Tetangga di luar makin ramai berbicara. Ia berjalan ke pintu dan menutupnya. Ia belum merasa aman, kendatipun batas waktu menyuruh Ani pergi telah lewat dua jam lima belas menit. Ia memandang ke luar. Dalam hitam malam masih nampak beberapa bintang menggigil di langit. Ia memuji-muji kebesaran Tuhan dalam hatinya. Keinginannya untuk melaporkan kejadian itu kepada kepala kampung yang tinggal selang dua rumah dari rumahnya, ia urungkan, karena ia merasa lebih baik melaporkan kejadian itu langsung kepada Tuhan sambil memohon ampun, kendatipun ia tahu Tuhan telah melihat seluruh peristiwa itu.
Bna. Des. 1968
Cerpen “Ancaman” pertama kali terbit di majalah Sastra, Edisi 6/V11, 1969. Menurut Aveling (1975:109), H.G. Ugati lahir di Banda Aceh dan tidak ada informasi lain yang tersedia tentang pengarangnya.
Aveling, H. (1975). Gestapu: Cerita pendek Indonesia tentang kudeta G30S yang gagal pada 30 September 1965. Makalah kerja studi Asia Tenggara, no. 6. Honolulu: Pusat Studi Asia Tenggara, Sekolah Studi Hawaii, Asia, dan Pasifik, Universitas Hawaii di Manoa. http://hdl.handle.net/10125/19379 [Diakses 30 Des 2022] or https://storiesfromindonesia.com/wp-content/uploads/2024/12/gestapu.pdf.
Featured image credit: “Temple of hope: Door to Nirvana,” Kreasi Entang Wiharso, 2018-2019, NGA, https://searchthecollection.nga.gov.au/artist/49471/entang-wiharso.
Dalam berita terkait:




