Setempel

Cerita Pendek Karya Mochtar Lubis (1950)

Telah lama di kantor itu sunyi senyap. Orang bisik-bisik di sudut-sudut; berkumpul-kumpul beberapa orang di meja – bercakap perlahan-lahan, seakan-akan takut ada bahaya yang mengintai – dan jika pegawai-pegawai kantor itu berjalan di depan pintu kamar tuan sekretaris, mereka berjalan di ujung kaki mereka, perlahan-lahan menahan napas mereka.

Sebentar-sebentar pintu kamar tuan sektetatis itu terbuka, dan seorang keluar dengan muka yang pucat dan wajah yang rawan. Dan jika matanya terpandang kepada mata temannya, dia menggelengkan kepalanya. Tiap ada orang yang keluar dari kamar tuan sektetaris itu, pegawai-pegawai yang berdiri-diri menunggu-nunggu di luar mengangkat kepala mereka berpaling, dengan Wajah penuh harapan; tetapi mereka diam dan menunduk kembali, ketika melihat bahwa muka orang-orang yang keluar itu masih kusut.

Di dalam kamar, tuan sekretaris duduk di belakang meja yang besar. Dia separuh baya. Di pelipisnya rambutnya telah beruban. Kalau ia tidak rajin mencat rambutnya, lebih banyak lagi ubannya sebenarnya. Pecinya terletak di atas meja. Laci-laci mejanya telah dibongkar, ditarik keluar, berserak-serak di lantai. Kertas dan surat-surat beronggok-onggok di lantai dekat mejanya, isi laci-laci itu. Beberapa orang duduk di kursi di sebelah mejanya, dan seorang perempuan muda duduk menjongkok di lantai membongkar onggokan kertas dan surat-surat itu.

“Nah, sudah dibongkar semua laci meja, masih juga belum ketemu!” seru tuan sekretaris itu. Siapakah yang akan menyangka bahwa timbunan kertas-kertas besar-besar itu dari laci-laci meja itu? Nona sedang menangis terisak-isak. Tidak biasa dia dimarahi oleh tuan sekretaris.

“Betul, tuan, saya ingat benar telah saya masukkan ke dalam tas tuan!” katanya.

“Ha, tetapi tidak ada di dalam tas saya. Ke mana perginya?” kata tuan sekretaris. “Bagaimana kita bisa bekerja, kalau tidak ada setempel itu?” tambahnya.

Tidak ada yang menjawab. Apa yang akan mereka katakan? Tuan sekretaris benar! Dengan kalimat itu disebutkannya nasib kantor mereka yang malang! Setempel kantor hilang!

“Dan hari ini hari gajian, kita mesti mengambil uang dari Bank Negara,” kata seorang, rupanya kepala bahagian keuangan kantor itu. “Daftar gaji telah selesai dibikin!”

“Dan saya mesti mengambil bensin hari ini untuk kantor,” kata yang seorang lagi. “Bensin telah habis, dan, kata tuan menteri, beliau hendak berjalan.”

“Dan saya mesti mengambil beras, garam dan minyak kelapa dari Kantor Pembagian Makanan!” kata yang seorang lagi.

“Diam! Diam! Telah berapa kali dari tadi pagi engkau katakan yang demikian. Aku punya telinga juga. Aku tidak lupa hari ini hari apa!” serunya, dan dia berpaling memandang kepada nona yang malang itu dengan pandangan yang penuh dengan tuduhan. “Nona, lihatlah apa jadinya kita karena kealpaanmu!” hingga nona itu menangis lebih keras lagi, air matanya jatuh basahi kertas-kertas surat tuan sekretaris.

Tuan sekretaris membanting pecinya ke atas meja, menarik-narik rambutnya, peluh mengalir di keningnya. Dia berdiri, melangkah mundar-mandir dikantor itu. Tiba-tiba telpon berbunji. Dia melangkah hendak mengambil telepon, tetapi baru dua langkah dia bergerak, kakinya tertegun.

“Tidak,” katanya. “Itu tuan menteri barangkali. Nona, berhentilah menangis, dan jawablah telepon itu!” dan dia berpaling berdiri dekat jendela, melihat keluar. Meskipun hatinya enggan mendengarkan percakapan telepon itu, tetapi telinganya dipasangnya tajam-tajam.

“Selamat pagi tuan menteri!” kata nona itu. “Oh, tunggu sebentar, paduka tuan!” nona itu berpaling memberi isjarat, bahwa tuan menteri hendak berbicara dengan tuan sekretaris. Dia membalas, menjuruh katakan, dia tidak ada di kamar. Nona itu mengangguk.

“Tuan sekretaris baru saya keluar, paduka tuan. Oh, baiklah, paduka tuan. Mobil mesti disediakan pukul 12. Baiklah, paduka tuan. Ja, saya mengerti, paduka tuan. Merdeka, paduka tuan!”

Dia berpaling. “Menteri meminta supaya mobilnya disediakan pukul 12 siang nanti.” Tuan sekretaris mengerang, dan duduk kembali ke kursinya, menarik-narik rambutnya.

Kemudian dia berdiri kembali, berjalan mundar-mandir di kamar, seperti seekor singa yang di dalam kandangnya, tetapi hanya tuan sekretaris tidak ubahnya sebagai seekor singa yang amat ketakutan dan kehilangan akal.

Tuan kepala bahagian keuangan menggosok lehernya, dan batuk kecil.

“Ehem,” katanya, “apakah tidak baik tuan duduk, bersabar sedikit? Barangkali surat-surat yang tuan tanda tangani itu saja, yang tidak memakai setempel, diterima juga oleh mereka. Tidakkah lebih baik kita tunggu mereka kembali?”

Tuan sekretaris berpaling melihat dengan marah kepada orang yang berkata. Mula-mula seakan-akan ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian ditahannya hatinya, dan dia duduk di kursinya kembali.

Tidak lama kemudian pintu kantornya diketuk dari luar.

“Masuk!” teriak tuan sekretaris. Seorang masuk. “Ha, ini Mahmud!” kata kepala keuangan itu dengan penuh harap. Orang yang baru masuk itu membawa sebuah karung kain lajar yang besar. “Dapatkah ?” tanya kepala bahagian keuangan itu. Sebagai jawab, orang itu melemparkan karung kain itu ke atas lantai, kosong. “Mereka tidak mau memberikan uang, jika suratnya tidak disetempel. saya katakan kepada mereka setempel kantor kita hilang, tetapi mereka tertawa saja. Malahan seorang hendak menuduh saya hendak menipu. Masa kantor begitu tidak punya setempel,” katanya. Tuan sekretaris menarik napas panjang, mengeluh, dan meletakkan kepalanya ke atas tangannya di meja. “Pergilah,” katanya dengan pendek.

Sebentar kemudian pintu diketuk orang kembali. Orang yang disuruh pergi mengambil bensin dengan surat sonder setempel melaporkan, bahwa ia hanya ditertawakan saya di kantor pembagian bensin, karena suratnya itu tidak pakai setempel. Kemudian masuk orang yang disuruh mengambil beras, garam dan minyak. Dia juga tidak berhasil. Setempel, setempel, setempel, di mana-mana ditanyakan “Mana setempelnya?” “Kalau tidak ada setempelnya, tidak syah.

Hening dalam kantor tuan sekretaris itu. Sebentar-sebentar tuan sekretaris mengangkat kepalanya melihat ke jam di dinding. Hari telah hampir pukul setengah dua belas. Pukul dua belas menteri mesti pergi. jika tidak ada bensin, menteri tidak bisa pergi. jiika dia tidak bisa pergi, entah bencana apa yang akan terjadi. Mungkin negara akan terancam bahaya. Dan jika pegawai-pegawai tidak dibajar gajinya, dan tidak mendapat pembagian makanan, mungkin mereka akan mogok, dan mengadu kepada serikat sekerja mereka, dan serikat sekerja mereka akan mengadu kepada Sobsi, dan Sobsi akan mengambil tindakan, hingga mungkin timbul krisis politik dalam negeri. Serikat sekerja pegawai-pegawai kantor itu telah beberapa kali menuntut tambah gaji, dan jika gaji mereka terlambat dibayar, maka mereka akan mendapat alasan untuk mogok. Peluh dingin mengalir di pundak tuan sekretaris memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, hanya karena sebuah setempel saya yang hilang. Gemas hatinya, memikirkan sebuah setempel dari karet sedikit dan sekerat kayu jadi lebih berkuasa dari tandatangannya sendiri.

Lonceng jam berbunyi! Seperempat jam kurang setengah dua belas. Pukul dua belas paduka tuan menteri mesti pergi. Kepalanya tertekun di atas kedua tangannya di atas meja. Tuan-tuan kepala bagian-bagian itu duduk memandang kepadanya, menunggu perintah. Nona sekretaris dari tuan sekretaris sedang menyusun-nyusun kertas kembali ke dalam laci-laci meja; masih menangis terisak-isak.

Mendengar bunyi lonceng, tuan sekretaris mengangkatkan kepalanya sedikit, dan tiba-tiba matanya terpandang kepada cincin setempel mas di jari tengahnya. Cincin itu besar, dibuatnya dahulu ketika dia masih bercinta-cintaan dengan isterinya, sebelum mereka kawin. Dalam sebuah saat diserang rasa kasih sayang yang mesra kepada kekasihnya, dia pergi ke tukang mas, menyuruh buatkan cincin setempel itu, bundar, kecil sedikit dari uang sen, diukir dengan huruf pertama namanya dan nama isterinya, berbunga-bungaan dan berkeluk-keluk, hingga hanya dia sendiri saya yang dapat menerka huruf-huruf apa yang terukir di cincin itu. Setengah menit lamanya dia menatapi cincin itu — dan tiba-tiba dia terlompat bangun dari kursinya, berteriak. Tuan-tuan kepala bagian itu terlonjak berdiri, dan nona itu terpekik kecil, karena terkejut.

“Mana, mana surat-surat untuk mengambil uang, bensin, dan beras itu?” serunya, dan dia melompat-lompat seperti anak kecil, sambil melepaskan cincin setempel itu dari jarinya.

“Lihatlah,” katanya tergesa-gesa, “ini cincin setempelku. Ini kita pakai untuk setempel, biar puas hati anjing-anjing burokrasi kantor-kantor keuangan, bensin dan makanan itu. Mana lak?” katanya kepada nona itu. Nona itu mengambil lak, dibakarnya, dan meneteskan lak itu ke atas surat-surat itu. Kemudian dicap oleh tuan sekretaris dengan cincin setempelnya. Dan dekat cap itu ditulisnya “SETEMPEL KEMENTERIAN yang BARU” – Sekretaris…” dan diparapnya. Ketiga surat itu kelihatannya lebih gagah dan resmi dari pada disetempel biasa, karena lak itu.

“Lebih baik saudara-saudara sendiri yang pergi mengambilnya,” katanya kepada kepala-kepala jabatan itu. “Dan telepon saya cepat-cepat, jika telah dapat.”

Mereka pergi. Dan tidak lama kemudian berturut-turut telepon berdering tiga kali; tuan-tuan kepala jabatan itu melaporkan, bahwa cap yang baru itu telah berhasil.

“Bagus, bagus!” kata tuan sekretaris. “Nomor satu uruslah bensin untuk mobil tuan menteri!” Dia menggosok-gosok tangannya, tersenyum-senyum.

“Nona,” katanya, “bawalah surat-surat yang masuk hari ini. Hendak saya periksa.” Dia mulai bekerja. Wajah / muka singa yang ketakutan telah hilang dari mukanya. Kelihatannya persis seperti tuan sekretaris sebuah kementerian, gagah, cakap, cekatan, dan penuh hormat. Dia membalik-balik sebuah surat.

“Ehem, ehem, ehem, apa ini, katanya kepada dirinya sendiri.

“Nona,” katanya kemudian. “Balaslah surat ini, dari kantor cabang kita di Kediri. Mereka minta supaya diberi izin menambah dua orang pegawai lagi. Katakan kepada mereka. bahwa surat-surat permohonan demikian mesti dikirim tiga lembar, dan disetempel!

Nona itu mengambil surat itu dari tangannya.

“Tidak syah, tidak pakai setempel,” tuan sekretaris menggerutu kepada dirinya sendiri.


Sumber: Setempel (The Stamp) is a story from the short story collection of Lubis, Mochtar. Si Djamal : dan tjerita2 lain [Young Djamal : and other stories] / oleh Mochtar Lubis Gapura Djakarta 1950, h. 62.

Featured image credit: Netherlands National Archives Collection: Photo Koleksi Spaarnestad, Deskripsi: “Sambutan meriah oleh 300 demonstran pro-pemerintah untuk delegasi Indonesia yang gagal mencapai kesepakatan pada Konferensi Tingkat Menteri Belanda-Indonesia di Jenewa. Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo (tengah).. sesaat sebelum dinaikkan ke bak truk untuk tur keliling kota. Spanduk di atas para demonstran menuntut “Bung Mitro” (Kamerad Mirtro) untuk segera mengakhiri semua hak istimewa keuangan, ekonomi, dan budaya Belanda. 16 Februari 1956″; Fotografer: Associated Press, Pemegang hak cipta: © Associated Press. http://hdl.handle.net/10648/02105d46-0fc4-bf66-c94f-4818522f16cc

Trending

Discover more with Stories From Indonesia

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue Reading