Terkepung
Cerpen Karya Mochtar Lubis (1950)
Mereka merangkul tanah kuat-kuat memeluk bumi, ketika mendengar bunyi peluru mortier datang melayang menuju mereka bunyinya melengking “suwiiing!” membelah udara — kemudian menimpa tanah dan meledak “drranghhh!” membongkar bumi dan mengoyak udara mereka ditutupi tanah, pasir, batu-batu kecil, dan rumput, tubuh dan dahan serta daun-daun semak belukar yang dihamburkan oleh pecahan peluru itu, dan sekarang turun seperti hujan.
Kemudian mereka mengangkat kepala mereka perIahan-lahan, pandang-memandang, mata mereka mencari-cari siapa yang kena, dan kemudian cahaya girang timbul di mata yang letih lesu, melihat tidak ada yang kena, dan berangsur-angsur tubuh dan urat-urat syaraf yang tegang-kaku menjadi lega dan lemas kembali, karena mereka tahu untuk lima belas menit lagi, mereka akan selamat; karena mortier itu hanya ditembakkan sekali lima belas menit. Telah sejam demikian.
Dua orang bersandar ke dinding lobang yang dangkal yang digali dengan bayonet dan topi besi. Kemeja orang yang tidak memakai topi itu merah kehitaman di bawah tulang bahunya yang sebelah kanan, karena darah yang keluar dari lobang peluru yang menembus. Darah masih mengalir juga sedikit-sedikit dari luka yang mendenyut-denyut itu, menetes keluar dari darah yang mengental di kain kemejanya. Mukanya pucat lesi, dan di tanah di dekatnya terletak sebuah pestol Colt, dekat tangan kanannya, terikat dengan sebuah tali dari kulit ke pergelangannya. Yang seorang lagi terbaring bersandar di sebelahnya, merintih-rintih. la tidak luka, tetapi sakit disenterinya datang menyerang, dan pantat celananya telah merah. Telah dilarang supaya ia jangan ikut dengan patroli itu, ia berkeras hendak ikut, dan dalam lasykar rakyat tidak ada disiplin yang keras yang dapat mengatur seseorang.
Orang yang kena tembak bahunya sebelah kiri itu membuka matanya dan memandang dengan ekor matanya kepada temannya yang bersandar di sebelahnya.
“Sakit benarkah, engkau?” tanyanya. Orang itu hanya menjawab dengan orang kesakitan. Dia memejamkan matanya kembali, dan sebentar kemudian dibukanya, dan melihat kepada ketiga orang yang Iain itu. Dia dapat melihat mereka bertiga, jika ia memutarkan kepalanya sedikit ke kiri dan ke kanan. Mereka bersembunyi dalam lobang perlindungan yang dangkal di bawah pohon belukar yang tumbuh di puncak bukit itu, membidik-bidik dengan senapan mereka, dan menembak-nembak. Bunyi senapan mereka bergemuruh memenuhi udara di puncak bukit itu, tempat mereka terkepung.
Jika dia memandang lurus-lurus ke depan, maka di antara pohon-pohon, dahan-dahan dan daun-daun semak belukar yang tumbuh di puncak bukit itu, dia dapat melihat sungai mengalir hanya beberapa ratus meter saja jauhnya. Air sungai yang mengalir di antara batu-batu di dalam sungai berkilat-kilat menampik tusukan sinar matahari petang. Tidak jauh dari tebing sungai itu di seberang sebelah sana, tiga ekor kerbau sedang makan rumput di sawah yang sudah lama tidak di kerjakan — telah penuh ditumbuhi rumput tinggi-tinggi dan belukar kecil. Dan kira-kira satu atau dua kilometer dari tempat kerbau-kerbau itu berdiri makan rumput, dia dapat melihat beberapa orang berjalan di atas pematang di tengah-tengah sawah-sawah yang menuju ke sebuah desa yang tersembunyi dalam kelompok pohon-pohon kelapa, pohon kapuk dan lain-lain pohon, seakan-akan sebuah pulau di tengah-tengah sawah-sawah yang datar itu.
“Tadi pagi kami masih di desa itu,” pikirnya.
Dan jauh di seberang sungai, di tempat tanah datar itu bertemu dengan bukit-bukit dan gunung-gunung, dia dapat melihat asap mengepul ke langit — bergerak maju.
“Kereta api,” pikirnya, dan kenangannya kembali ke belakang.
“Enam bulan yang lalu kami masih naik kereta api. Satu pasukan lasykar yang gagah perkasa — pasukan Kucing Liar. Bersenda-gurau dalam deresi kereta api, yang seorang menepuk dada dan mengatakan senapan Garand buatan Amerika yang dipegangnya itu dapat dirampasnya dalam pertempuran dengan musuh di Bekasi. Yang lain berdiri dan memperlihatkan pestol otomatik Luger. “Aku rebut di Bandung,” katanya. Demikian berganti-ganti, celana, kemeja, sepatu, topi waja, baret, bayonet, stengun — semuanya dapat direbut dalam pertempuran.”
Kenangannya melayang lebih jauh ke belakang. “Ah, telah banyak kami yang mati. Tiga orang tewas dalam pertempuran dekat kota Semarang, kena peluru mortier, hingga ketika hendak menguburkan mereka tidak dapat diketahui lagi siapa-siapa yang empunya tangan, potongan-potongan kaki, tubuh, dan kepingan-kepingan kepala yang bertaburan di tanah. Akhirnya dikumpulkan saja, dan dikuburkan bersama-sama, dan di atas kuburan kepingan-kepingan tubuh manusia yang berlumuran darah itu dipancangkan sebuah papan nama-nama mereka. Dua orang tewas dalam duel. Ya, duel. Dan berangsur-angsur, seorang demi seorang menghilang dari pasukan Kucing Liar itu. Seorang meninggal di rumah sakit di Surakarta — radang paru-paru — seorang lagi di Jogjakarta, beberapa orang di Magelang, Malang, Cirebon, Krawang, di pinggir Sungai Bekasi — karena peluru — Purwakarta, Tasikmalaya, Garut — sebuah daftar nama yang panjang penuh dengan darah, peluru, teriak peperangan, kesucian pengorbanan, hawa nafsu yang menyala-nyala, tamak dan rakus kebinatangan, dan penyakit-penyakit, mati karena tidak diobat, karena tidak ada obat.”
Tiba-tiba ia menundukkan kepalanya dalam-dalam ke dadanya; orang yang sakit disenteri itu lupa mengerang — dan mereka berdua merangkul tanah dan yang bertiga yang Iain itu menjatuhkan diri mereka ke dasar lobang perlindungan mereka. Sebuah peluru mortier datang melayang menuju mereka melengking “suwiiing!” membelah udara— bunyinya tajam menimpa tanah dan meledak “dranghh!” — membongkar bumi dan mengoyak udara – menghujani mereka dengan tanah, kepingan-kepingan batu, dahan-dahan mereka dan daun-daun semak-semak.
“Sekali ini lebih dekat jatuhnya,” pikirnya.
la memandang dengan ekor matanya kepada orang di sebelahnya itu, kemudian matanya mencari orang yang lain itu. Tiba-tiba ia memalingkan kepalanya dengan cepat, seakan-akan sesuatu teringat olehnya, dan melihat kepada orang yang bersandar ke tanah di sebelahnya itu. Orang itu telah berhenti mengerang, kepalanya terkulai ke bahunya. Ditariknya rambut orang itu, memutar kepalanya, dan ketika itu tahulah ia, bahwa orang itu telah mati — sebelah kepalanya hancur dikoyak sebuah pecahan mortier. Besi kepingan peluru mortier itu tertancap ke tanah di belakang kepala orang itu, dan ketika hendak ditariknya keluar — cepat-cepat ditariknya tangannya kembali — masih panas. Baginya pemandangan demikian tidak baru. Telah amat banyak dilihatnya. Dilepaskannya rambut orang itu, dan kepala yang telah pecah sebelah itu terguling kembali ke bahu orang itu. Dan dia memejamkan matanya sebentar, kemudian mencoba berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar dari kerongkongannya, dan lidahnya dijilatkannya ke bibirnya yang kering, dan kotor kena tanah. Itu juga tidak menolong, dan dia menelan air ludahnya untuk menghanjutkan rasa batu yang menyumbat kerongkongannya. Itu juga tidak menolong, sebab itu dia menyandarkan kepalanya ke dinding lobang perlindungan itu, dan memejamkan matanya.
Ia tidak tahu entah berapa lama ia memejamkan matanya demikian. la tidak tahu, bahwa ia telah jatuh pingsan, tidak sadarkan dirinya, dan jari kenangannya kembali membalik-balik lembaran buku masa yang lalu … seorang gadis yang baru berumur enam belas tahun, yang selalu berdiri melambai-lambai kepada kereta api, setiap kereta api lewat di depan rumah bapaknya, kepala setasiun. Rumah kepala setasiun itu berdiri di dekat jalan kereta api, berpagar dari bambu, dan setiap kereta api lewat anak gadis itu berlari-lari keluar melambai-lambai. Setiap mereka lewat di atas kereta api, tidak pernah tidak ada gadis itu berdiri bersandar ke pagar melambai-lambai, hingga akhirnya muka gadis itu tercantum di pikirannya, terang sebagai sebuah potret. Lama-lama Iambaian gadis itu adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk seluruh kereta api itu, tertawa gadis itu adalah untuknya sendiri, dan lama-lama dia merasa seakan-akan mereka berjanji bertemu demikian setiap dia lewat dengan kereta api. Beberapa kali dia turun kereta api, memberanikan hatinya pergi ke rumah kepala setasiun itu hendak bercakap-cakap dengan gadis itu, tetapi tidak pernah dilakukannya. Dia tidak kenal aku,” pikirnya.
Kemudian dia tersentak sadar kembali. Dibukakannya matanya perlahan-lahan. Hanya seekor semut kecil merah dilihatnya merangkak di atas dadanya. Hanya itu yang dapat dilihatnya karena kepalanya terkulai ke dadanya, dan tenaganya tidak kuat lagi mengangkatkan kepalanya, hanya dia tidak tahu. Dan kemudian dia pingsan kembali, tetapi dia tidak tahu juga.
…Peluit kereta api melengking meminta membuka signaal, dan sebentar kemudian kereta api berhenti di setasiun kecil itu, dan dia turun. Sekali ini aku akan pergi kepadanya, pikirnya. Dan dia melangkah dengan cepat-cepat menuju rumah kepala setasiun itu, dan dilihatnya gadis itu masih berdiri bersandar ke pagar dan melambai-lambai kepada kereta api yang berhenti di setasiun, tetapi ketika gadis itu melihat dia datang, ia berpaling memandang kepadanya, dan senyum menghiasi bibirnya.
Ia berdiri kemalu-maluan di depan gadis itu.
“Lama benar baru engkau datang,” kata gadis itu kepadanya dengan lemah lembut.
Ia menegakkan kepalanya kegirangan.
“Engkau tunggu aku?” tanyanya dengan penuh harap.
“Ya, kalau tidak mengapa aku setiap kereta api lewat berlari-lari keluar? Mengharap sekali-sekali engkau akan lewat.”
Ia melangkah mendekati gadis itu, dan gadis itu menangkap tangannya, dan ia memeluk gadis itu, membungkukkan kepalanya sedikit, mendekatkan bibirnya ke bibir gadis itu dengan perlahan-lahan, dengan penuh rasa takjub, cinta dan hormat— peluit lokomotip melengking keras menyayat udara memekakkan telinganya dan gemuruh roda kereta api beradu dengan rel besi bertumbuk dengan besi — makin lama makin dekat — hiruk pikuk — dan suara gadis itu bertanya — itu kereta telah berangkat, tidakkah engkau mesti pergi? — dan dia berbisik — tidak, aku tinggal dengan engkau — dan rasa bahagia mesra meliputi kalbunya — bunyi gendang riuh rendah dipukul-pukul, dan ketika bibirnya menyentuh bibir gadis itu, rasa bahagia turun melayang membungkus hatinya, bercahaya-cahaya meliputi seluruh badannya dari dalam dan dari luar seakan matahari pecah berhamburan di sekeliling mereka berdua, memeluk, mendukung dan membawa mereka terbang membubung ke alam bahagia bebas merdeka – peluru mortier melayang memekik meiengking mengoyak udara, tepat jatuh ke dalam lobang perlindungannya, meledak dan nyala putih menyilau seperti matahari yang meledak pecah, menyelimuti, menenggelamkan dan melingkunginya – dan kemudian hening, sepi, gelap, gelap, hilang-hilang, hilang-hilang, hanyut-hanyut, entah ke mana.
Tidak lama kemudian beberapa orang yang berbaju hijau dan memakai topi baja seperti topi baja marine Amerika berdiri di puncak bukit itu, memandang kepada lima mayat yang tergelimpang di antara pohon-pohon semak yang telah terbongkar — dua buah tidak dapat dikenali lagi, telah hancur remuk dalam lobang dan di antara keping-keping tubuh manusia itu sepotong tangan yang putus di sikunya separuh terbenam dalam tanah, dan dari pergelangan tangan itu sebuah tali dari kulit mengikat sebuah pestol Colt.
Kemudian orang-orang itu menuruni bukit itu dan menghilang dalam gelap senya. Langit merah di tempat matahari tenggelam, dan kilat-kilat sinar matahari di permukaan air mengalir di sungai telah hilang. Ketika ekor kerbau yang makan rumput di sawah di seberang sungai itu telah pulang dengan sendirinya ke kandangnya. Dari balik bukit-bukit dan gunung-gunung di sebelah barat, senya malam turun dengan cepat.
Source: Terpekung (Surrounded) is a story from the short story collection of Lubis, Mochtar. Si Djamal : dan tjerita2 lain / oleh Mochtar Lubis, Gapura, Djakarta, 1950, h. 70.
Featured image credit: Excerpt showing an Indian 3-inch mortar team setting up their weapon, from Ambonese Roadblock, Release of Dutch Internees and Exhumation of Bodies, 35mm film, IWM JFU 443, https://www.iwm.org.uk/collections/item/object/1060030361.

Sumber: https://www.iwm.org.uk/collections/item/object/1060030361




Leave a Reply