Si Djamal Djadi Importeur

A Short Story by Mochtar Lubis (1950)

“Kalau orang berpikir dan memakai otaknya tidak ada sesuatu yang sulit di dunia ini,” kata si jamal. Kami sedang duduk di dalam restoran. Kebetulan aku bertemu dengan dia di toko buku, dan setelah aku dicemoohkannya seperti biasa hanya membeli buku roman detektip dan ceritera cowboy, diajaknya aku makan-makan ke restoran. Dia tiba-tiba menjadi pemurah, barangkali karena aku berjanji akan membaca bukunya „Filsafat dari Abad Ke Abad”, entah karangan siapa, yang akan dibawakannya ke rumah nanti, katanya.

“Bagaimana rencana perdagangan modernmu itu tanyaku.”

Si jamal menyentik meja. Tidak biasa dia menyentik meja kalau bercakap-cakap. Ini lagak baru baginya. Barangkali dia hendak menyuruh aku melihat cincin berlian di jari manisnya. Entahlah.

“Aku akan sampai ke sana nanti,” kata si Djamal. “Sebagai kataku tadi, jika orang berpikir dan memakai otaknya, tidak suatu yang sulit di dunia ini. Orang-orang kiblik banyak yang mengeluh, kurang uang, tidak diperhatikan nasibnya, dan sebagainya. Sebenarnya tidak perlu mereka demikian, jika mereka mau memutar otak sedikit. Lihatlah betapa luasnya lapangan pekerjaan yang belum dikerjakan sama sekali. Di mana saja, pertanian, peternakan, perikanan, industeri dan sebagainya. Hanya bangsa kita sudah malas bekerja, lebih malas Iagi berpikir. Sayang otakku hanya satu, dan tanganku dan kakiku masing-masing hanya dua biji. Kalau tidak, apakah yang tidak bisa aku lakukan. Lihatlah aku sendiri. Kembali aku dari gunung, pakaianku hanya yang lekat di badan saja. Uang sepesee buta tidak ada. Tetapi lihat sekarang. Baju baru, kemeja baru, sepatu baru. Cincin berlian di jari lagi? Sebentar lagi aku akan dapat mobil sendiri. Aku telah memasukkan surat permintaan untuk prioriteit. Karena apa aku dapat ini semua? Karena aku berpikir dan bekerja.”

“Benar semua yang engkau katakan itu,” kataku. “Tetapi bagaimana rencana barumu?”

Dia tersenyum. Dari dalam tas kulitnya dikeluarkannya sehelai kertas yang terlipat. Dan diletakkannya di atas meja.

“Ini rencanaku untuk membikin perusahaan import dan eksport. Kapital 200.000 rupiah. N.V. Distor seperlima jadi 40.000 rupiah. Aku tidak punya uang sepeser juga. Tetapi bisa. Bagaimana? Engkau bukankah tahu, sebelurn aku pergi ke Jogja dahulu, aku tinggal di rumah yang bagus di jalan besar? Selama aku di Jogja, yang tinggal di sana beberapa orang keluargaku. Sekarang rumah itu aku catutkan. Gampang. Sudah ada yang tawar hingga 15.000 uang kuncinya. Belum aku berikan. Aku mau tahan sedikit lagi. Jika sudah ada 15.000 maka mencari tambahnya mudah sekali.”

“Bagaimana?” tanyaku.

“Uang cari uang. Belum aku pikirkan sekarang. Tetapi mudah saja. Kalau engkau mau ikut, aku akan Suka sekali,” katanya, “rumahmu itu laku 10.000 rupiah. Tetapi aku yang menjadi direktur. Engkau tidak mengerti apa-apa tentang ekonomi, bukan? Nanti aku bawakan orang yang mau mengambil rumahmu itu.”

“Di mana aku tinggal nanti?” tanyaku.

“Tidak mengapa tinggal di rumah kecil dan buruk untuk sementara. Dalam masa tiga bulan kita bisa beli rumah lagi. Perdagangan sekarang telah aku periksa. Pasti untung. Tidak ada ruginya. Cobalah engkau pikir. Pokok 40.000 rupiah. Paling sedikit menurut penjualan secara resmi saja, kita mesti dapat 4.000 rupiah sebulan. Dalam sepuluh bulan telah kembali uang. Tetapi kalau kita pintar,” dia mengerdipkan matanya, “dan bisa tekan sini, tekan sana, maka akan lebih banyak lagi bisa dapat. Kerjanya tidak banyak. Hanya terima toewijzing sekian banyak, kita beli, kemudian jual lagi dengan harga yang sudah ditentukan. Cobalah engkau pikir-pikir.”

“Bukan aku tidak percaya kepadamu,” kataku kepadanya, “tetapi aku rasa aku tidak cocok hidup berdagang.”

“Engkau betul orang inlander. Tahumu hanya menunggu kantor Republikmu dibuka kembali. Dari pada berusaha sendiri, lebih suka engkau menunggu-nunggu tidak keruan. Minta-minta uang kepada keluargamu. Katamu engkau tidak suka kepada Nica, tetapi uangnya engkau pakai juga.”

Karena aku sedang makan nasi yang dibelikan si Djamal, tidak mau aku melawannya berdebat, tetapi aku mengangguk-angguk saja.

“Kalau aku sudah dapat kantor. nanti aku beri tahu engkau. Dan datanglah sekali-sekali ke kantor kita bekerja,” kata si Djamal di luar restoran, setelah kami selesai makan.

“Terima kasih banyak,” kataku. Ketika aku hendak pergi, dia bertanya — ke mana engkau? – dan kataku aku hendak ke Pasar Cikini sebentar. Aku juga hendak ke sana, katanya. Kami naik becak. Di tengah jalan, dia melihat tukang rokok dan menyuruh becak berhenti. Rokoknya rokok Amerika seharga tiga rupiah, dan tukang rokok itu tidak ada uang kecil mengembalikan uang si Djamal. Ada uang kecilmu, kata si Djamal kepadaku. Aku berikan uangku. Tiga rupiah. Kami terus. Di Prapatan Menteng, si Djamal turun. Ini pengganti uangmu tadi, katanya, dan memberikan aku uang kertas sepuluh rupiah. Tidak ada uang kecilku lagi, kataku. Ah, nanti saja aku ganti, kalau aku datang ke rumahmu, katanya, dan dia pergi. Uangnya yang sepuluh rupiah itu dibawanya kembali. Aku terus. Tiba di rumah, aku hitung-hitung. Akhirnya si Djamal juga yang lebih pintar. Rokok dan naik becaknya yang aku bayarkan sudah sama dengan harga makanan yang dibayarkannya untuk aku. Kalau dalam perdagangan si Djamal juga begini, mungkin dia bisa lekas kaya, pikirku dalam hati.

Baru sebulan kemudian aku dengar kembali tentang si Djamal. Dari sebuah adpertensi di koran. Selama itu dia tidak pernah datang-datang ke rumah. Barangkali maksudnya supaya aku lupa dahulu utangnya tiga rupiah itu kepadaku. Sebuah adpertensi kecil yang berbunyi:

N. V. Gatotkaca Importers/Exporters
Textiles and General Merchandise
Hubungan luas di dalam dan di luar Negeri
Tetap dipimpin oleh: Direktur Djamal.

Dan kemudian alamat kantornya di-Kota.

Sekali ini menjadi rencana si Djamal pikirku, dan aku sudah separuh menyesal tidak hendak ikut mencatutkan rumahku dan bersama-sama berdagang dengan dia.

Baru beberapa minggu kemudian aku sempat pergi ke kantornya. Kawan-kawan mendirikan sebuah panitia amal untuk main sandiwara, dan programa sandiwara itu akan diisi dengan adpertensi dari penderma-penderma. Pikiranku pertama sekali tentu kepada si Djamal.

Di luar pintu bawah dari deretan gedung-gedung besar di-Kota itu, telah terpancang mereka kantor si Djamal. Merek dari marmar dengan cat emas:

N.V. GATOTKACA
Importers & Exporters

Makin aku percaya rencananya telah berhasil baik, dan tentu aku akan dapat adpertensi paling sedikit satu halaman penuh. Dua ratus rupiah. Naik tangga yang tinggi. Tiba diloteng yang kedua. Ruangan di atas dibagi-bagi antara beberapa perusahaan, dan akhirnya aku lihat tanda panah menunjuk ke sudut belakang ke tempat N. V. Gatotkaca. Di bawah aku bayangkan kantornya hebat. Paling sedikit beberapa puluh orang yang bekerja di bawah si Djamal. Sibuk dengan Importers dan Exporsters textiles dan general merchandise dan hubungannya yang luas di dalam dan di luar negeri itu. Sebab itu, terkejut juga aku melihat bahwa kantor N.V. Gatotkaca itu hanya buah sudut separuh gelap di atas loteng. Hanya sebuah meja tulis yang terang kelihatan belian tweede-hands. Sebuah kursi untuk si Djamal, dan sebuah kursi untuk tamu. Lain tidak ada. Ada juga, sebuah lemari seperti brankast. Tetapi dari kayu. Peti es, barangkali, yang dibikin menjadi brandkast. Di mejanya tidak ada telpon. Si Djamal sedang bersandar ke belakang kursinya bersandar ke tembok di belakang. Sebuah rokok di mulutnya. Tidak ada kesan kesibukan bekerja di kantor N.V. Gatotkaca itu.

Aku panggil namanya dua kali, baru didengarnya. Ketika dilihatnya aku, dia cepat-cepat berdiri dan datang kepadaku. Tersenyum.

“Akhir-akhirnya engkau datang juga,” katanya. Rupanya dilihatnya mukaku yang kecewa melihat kantornya, karena lekas-lekas dia berkata, “Ini kantor untuk sementara. Kita bęlum dapat telpon dan ruangan belum ada yang kosong. Rencana kita lebih besar dari ini, tetapi untuk sementara terpaksa aku sendiri saja di sini. Maklumlah engkau keadaan sekarang. Engkau hendak minum apa?”

“Kopi susu es, kalau ada.”

“Tunggulah sebęntar. Aku pesan,” kata si Djamal dan dia turun ke bawah memesan kopi susu es di rumah minum Tionghoa di seberang jalan kantor itu. Ketika si Djamal kembali, dia berkata, “Aku juga belum dapat opas.”

“Ya, namanya kantor baru,” kataku. Aku mesti baik-baik dengan dia, karena aku hendak minta adpertensi. Tidak ada gunanya membikin si Djamal mendongkol.

“Bagaimana dengan perdaganganmu?” tanyaku.

Bagus. Bagus. Tetapi aku baru mulai. Jadi begitu lancar seperti rencana semula. Dan aku terpaksa pula memakai kapital bangsa asing. Arab dan Tionghoa. Rumahku itu hanya dapat bersih tujuh ribu. Lebih sebenarnya, tetapi dipotong uang-uang sogok, engkau tahu. Tetapi aku yang menjadi direktur terus.”

Ketika aku tanya berapa uang orang Arab dan Tionghoa di dalam perusahaannya itu, si Djamal tidak hendak memberi tahu. Itu rahasia perusahaan katanya. Tapi dapat dihitung sendiri, bukan? Kalau kapitalnya jadi 40.000 yang disetor seperti kata si Djamal dahulu, maka paling sedikit kapital mereka 33.000 rupiah. Jadi direktur apa si Djamal kalau begitu, pikirku. Tetapi tidak aku katakan, karena aku hendak minta adpertensi dari dia.

“Nah, apa maksudmu datang. Bukankah tidak hendak bertemu dengan aku saja?” tanya si Djamal. Kadang-kadang aku berpikir, bahwa si Djamal ini amat pintar. Acap kali kata-katanya tepat-tepat. Seperti mengatakan orang Indonesia malas bekerja, dan lebih malas berpikir. Dan sekarang ini lagi. Aku tertawa.

“Ada maksud baik,” kataku. Dan aku terangkan kepadanya maksud panitia amal untuk mengadakan sandiwara itu, dan maksud kami meminta bantuannya.

“Ah, begitu,” katanya dengan lagak seperti raja yang hendak memberi kurnia kepada seorang pangerannya. “Untuk maksud-maksud demikian tentu aku mau saja. Saban waktu. Engkau sebenarnya tidak perlu bertanya Iagi. Bukankah engkau kenal aku. Apa saja, tidak usah tanya lagi. Pasang saja. Masa ditanya-tanya lagi. “Bagus,” kataku. “Terima saja banya. Berilah teks adpertensimu. Kita muat satu halaman saja.”

“Boleh,” kata si Djamal. Aku girang. Dua ratus rupiah untuk panitia amal.

Tiba-tiba kemudian, ketika si Djamal harus membayar kopi susu yang diantarkan pesuruh toko minum Tionghoa itu, dia bertanya.

“Berapa harganya satu halaman itu?”

“Dua ratus rupiah.”

“Dua ratus rupiah.”

“Oh, hmm, tidak mahal, ya.”

Kemudian dia diam, mengerencutkan keningnya.

“Apa yang engkau pikir?” tanyaku.

“Teks adpertensi,” katanya. Akhirnya dikeluarkannya buku notesnya dan disobeknya kertas sehelai. Dia menulis.

“lni sajalah,” katanya, dan memberikan kertas itu kepadaku. Di atasnya tertulis:

N. V. Gatotkaca
Tetap Dipimpin oleh: Direktur Djamal.

“Masa sedikit ini saja untuk satu halaman,” kataku, dan kemudian terus aku menyesal berkata demikian, karena aku memberi jalan keluar yang ditunggu-tunggu oleh si Djamal, karena dengan cepat dia berkata.

“Ya, tidak baik satu halaman untuk ini. Coba lihat ukuran adpertensi itu.” Diambilnya, dan kemudian dia berkata.

Sudahlah, seperenambelas saja. Lima belas rupiah.

Masa engkau membantu hanya lima belas rupiah saja,” kataku.

Ah, nanti kirim karcis sepuluh kepadaku,” katanya, “aku beli dengan harga dobel. Jangan takut.”

Aku suruh dia mengambil yang lebih besar, tetapi katanya, tidak usah, biar kecil saja, dan dia berkeras akan berderma dengan jalan Iain. Hampir kami berkelahi. Waktu aku akan pulang dia bertanya, bayar kontan atau nanti saja?

“Bayar sekarang sajalah,” kataku mendongkol.

Si Djamal berpaling ke brandkastnya, memutar knop di brandkast itu, kemudian berpaling kepadaku.

“Kas tutup hari ini,” katanya, “biarlah uangku saja dahulu. Dan diberikannya aku uang lima belas rupiah.

Entah apa maksudnya dengan mengatakan kas tutup hari ini. Sepanjang penglihatanku dia sendiri yang menjadi presiden, direktur, kasier, klerk, dan opas di kantornya itu.

Ketika aku pergi, si Djamal berkata lagi.

“Jangan lupa mengirimkan surat undangan, Ya. Untuk empat orang!” tidak aku jawab.

Beberapa bulan kemudian, aku dengar dari kawan-kawan bahwa si Djamal tidak berdagang lagi. Katanya orang Arab dan Tionghoa yang ikut memberi kapital itu mengundurkan diri, dan ketika keluar toewijzing textiel, si Djamal tidak punya uang menebus. Dan dia berhenti berdagang. Entah benar entah tidak. Aku sendiri belum bertemu dengan dia. Aku tanya nanti jika aku bertemu lagi dengan si Djamal.


Source: Si Djamal Djadi Importeur (Young Jamal Becomes An Importer) is a story from the short story collection of Lubis, Mochtar. Si Djamal : dan tjerita2 lain / oleh Mochtar Lubis Gapura Djakarta 1950, h. 34.

Featured image credit: Collectie / Archief: Fotocollectie Dienst voor Legercontacten Indonesië; Reportage / Serie: [DLC] Beediging; Beschrijving: Gombong: Te Gombong werden 8 KNIL-officieren, ingedeeld bij Inf. V (Andjing Nica) beedigd. Tijdens de eedsaflegging. De nieuwbenoemde officieren (de TLTS. Bolsjes, Kok en v.d. Zee) zijn de eerste naoorlogse leerlingen van de SROI te Bandoeng; Datum: 1948-02; Locatie: Nederlands-Indië; Fotograaf: Fotograaf Onbekend / DLC: Auteursrechthebbende; Permanente url: http://hdl.handle.net/10648/a5722494-0111-452f-c945-e0b2b3a86e95

Background:

Trending

Discover more with Stories From Indonesia

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue Reading