Si Djamal Berinfiltrasi
A Short Story by Mochtar Lubis (1950)
Telah lama pula aku tidak bertemu dengan sahabatku si Djamal. Semenjak dia membawa rencana besar-besar kepadaku yang tidak satu menjadi, maka setelah beberapa bulan, baru aku bertemu kembali dengan dia. Sementara itu keadaan telah banyak perubahannya. Belanda telah melancarkan aksi militernya yang kedua. Kota Jogjakarta telah jatuh. Dan mana-mana orang-orang atau jago-jago Republik yang tidak ikut bergerilya, semuanya tinggal dalam kota-kota dan daerah-daerah jang diduduki Belanda. Dan mereka yang tinggal dalam kota-kota yang diduduki Belanda ini terbagi dua pula. Mereka yang terus bertahan tidak hendak bekerja dengan Belanda, dan mereka yang mencoba siasat baru. Kata mereka.
Aku bertemu dengan si Djamal ketika aku sedang berjalan di depan sebuah kantor Pemerintah Belanda yang besar, dan tepat di depan pintu kantor itu, aku lihat dia keluar, mengepit sebuah tas. Aku berhenti dan aku panggil dia. Karena aku ingin tahu apa kabarnya sekarang. Sebab penghabisan sekali aku dengar tentang si Djamal, dia sedang bersiap-siap di Jogjakarta hendak pergi ke Sumatera, membawa rencana untuk pertambangan raksasa di Sumatera.
Dia menoleh, dan cepat-cepat datang kepadaku. Belum sempat aku bertanya apa-apa, dia telah berbicara. Berbisik seperti dia takut orang Iain akan mendengar.
“Sssttt, jangan di sini kita berbicara. Nanti didengar orang.”
Lagaknya seperti orang rahasia benar, sehingga aku jadi terkejut pula sedikit, dan mulutku yang sudah terbuka separuh hendak bertanya, tertutup kembali. Si Jamal menarik tanganku, dan baru setelah beberapa puluh meter dari kantor itu, dia berpaling kepadaku. Tersenyum.
“Sudah dari dahulu aku hendak datang ke rumahmu, katanya, “tetapi tidak sempat-sempat, karena amat banyak yang dikerjakan. Rencana-rencana baru. Aku kerja di sana sekarang!” katanya, menunjuk dengan ibu jarinya ke kantor yang baru ditinggalkannya.
“Oh,” kataku, sedikit terkejut, “tapi itu kantor Belanda.”
“Ya,” sahutnya dengan tenang.
“Engkau NICA* sekarang!” kataku.
Dia berpaling kepadaku dengan tiba-tiba. Sinar amarah memancar dari matanya.
“Berani benar engkau mencap aku NICA,” katanya. “Memang bangsa kita dari dahulu mudah sekali mencap orang lain ini dan itu. Sedikit-sedikit dengan tidak diperiksa orang dicap mata-mata musuh, kaki tangan NICA, pengkhianat, corrupteur, entah apa lagi. Engkau juga rupanya. Padahal engkau kenal baik sekali kepadaku. Apa yang tidak aku lakukan untuk kemerdekaan. Apa yang tidak aku korbankan. Engkau masih tahu satu bibliotik-ku dengan buku-buku yang amat berharga aku tinggalkan begitu saja untuk perjuangan. Dan setelah tanggal 19 Desember tahun yang lalu, aku ikut pula bergerilya di gunung dua bulan lamanja. Engkau hanya bisa bicara saja. Selama ini tinggal di Djakarta dan berlagak berjuang, tetapi setiap malam nonton bioskop, masuk restoran, dansa-dansa. Nanti pembalasan akan datang juga,” katanya. Rupanya amat marah benar dia aku katakan orang NICA itu.
“Kalau begitu, apa kerjamu?” tanyaku berbaik-baik.
Si Djamal tersenyum. Tersenyum bangga. Senyum orang yang tahu dia lebih banyak tahu dari orang lain. Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik:
“Aku berinfiltrasi!”
“Ooh,” kataku.
Barangkali si Djamal menyangka aku berkata Ooh! karena kagum. Entahlah. Tetapi tiba-tiba amarahnya hilang sama sekali, dan dia tertawa keras-keras. Amat girang. Dipukulnya bahuku.
“Berinfiltrasi bagaimana?” tanyaku.
“Memang engkau tidak bisa mengerti,” katanya, sebagai seorang guru kepada murid. “Itulah karena tidak lain yang engkau baca hanya buku ceritera cowboy dan roman detektip saja. Dalam perjuangan ini kita mesti bisa menukar-nukar siasat. Jika engkau pernah membaca tentang Machiavelli tentu engkau tidak akan sampai mencap aku NICA. Mencocokkan siasat perjuangan dengan keadaan yang bertukar-tukar. Waktu bambu runcing kita berbambu runcing, waktu teriak siap! kita berteriak siap! waktu berontak-berontakan kita berontak-berontakan, waktu mogok kita mogok, waktu agitasi kita agitasi, waktu zaman rapat-rapat kita rapat-rapat, waktu perang kita perang. Jika tidak bisa lagi perang, mesti tukar taktik. Kalau tidak begitu, bukankah kita akan menjadi seperti orang yang menumbukkan kepalanya ke tembok batu? Kepalanya sendiri yang pecah. Dan apa untungnya untuk periuangan kita? Bukankah bangsa kita sendiri yang akan rugi?”
Sebenarnya dalam hatiku, ini semua terdengar seperti siasat seorang oportunis paling besar, dan jika si Djamal menumbukkan kepalanya ke tembok hingga pecah, rasanya tidak ada orang yang merasa rugi. Barangkali dia sendiri saja yang akan merasa rugi. Tetapi ini hanya barangkali saja, karena aku masih merasa jengkel kepadanya membayang-bayangkan uang banyak dahulu kepadaku dengan rencana gula, vanille, bubuk kina dan sepuluh ton cerutunya, yang satu tidak ada yang jalan. Sebab itu, aku diam saja. Aku mengangguk.
“Tetapi,” tanyaku, “jika semua orang berbuat seperti siasatmu ini, dan mulai dari Sukarno, Djenderal Sudirman, Hatta, Syahrir, hingga ke yang paling kecil bekerja semua dengan Belanda, bagaimana jadinya? Kan Belanda yang menang? Dan ke mana kiblik?” Dia memandang kepadaku dengan jengkel.
“Pertanyaanmu tidak praktis,” katanya. “Tentu saja orang-orang seperti mereka itu mesti bertahan terus. Janganlah bicara seperti anak-anak.”
Aku diam saja. Kelihatannya payah aku berdebat dengan si Djamal. Dia telah membaca siasat Machiavelli. Aku belum. “Ha,” kata si Djamal kemudian, tertawa dan menggosok-gosok kedua tangannya. “Engkau belum mengerti. Lihatlah nanti aku bawa hasil pekerjaanku ke rumah. Aku bekerja sebagai wakil kepala sebuah bagian penerangan untuk rakyat. Kami mengeluarkan majalah-majalah dan buku-buku. Kami juga memberikan bantuan kepada usaha-usaha sandiwara dan sebagainya. Cobalah, kalau aku tidak masuk, maka pekerjaan ini akan dilakukan oleh orang lain yang lemah jiwanya, dan yang mudah dipengaruhi oleh Belanda di kantor. Tentu propaganda atau penerangan yang dikeluarkan akan hebat sekali anti kita. Tetapi sekarang aku bisa menahan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk kita. Kami keluarkan buku-buku yang baik dibaca oleh rakyat, yang toh akan kita terbitkan juga nanti. Karena memang perlu. Dan sekarang kita suruh Belanda yang menerbitkannya. Dan isi majalah-majalah itu juga kami jaga supaya jangan terlalu anti kita. Malahan di mana bisa, kami masukkan propaganda untuk kita sendiri.”
“Dan sepmu Belanda itu tidak tahu?”
Si Djamal tertawa.
“Mana dia bisa tahu, kalau aku katakan ini bagus, itu bagus, ini tidak bagus, dia percaya saja. Sungguh-sungguh kita diberi kuasa.”
Kemudian dia bertanya kepadaku, apakah kerjaku sekarang, dan aku menjawab, bahwa aku masih belum saja bekerja.
“Bodoh engkau,” katanya, “marilah ikut bekerja dengan kita. Masih ada Iowongan yang mesti diisi juga oleh orang yang sepaham. Dari pada jatuh kepada orang lain, kaki tangan mereka, bukankah lebih baik kita isi sendiri?”
“Aku tidak berani,” kataku.
“Ya,” kata si Djamal dengan bangga. “Untuk bekerja begini mesti ada keberanian. Tidak gampang, kalau iman tidak kuat, bisa goyang juga. Gaji besar, pembagian banyak, bisa naik mobil. Kawan-kawan mencap Si Djamal tertawa, dan sambil menepuk bahuku, dia berkata — nanti akan engkau lihat sendiri hasil pekerjaan kami, hingga inilah dahulu, nanti aku datang ke rumahmu membicarakan rencana-rencana baru untuk perjuangan kita ini — dan dia berteriak memanggil taksi. Betul gagah dia, pikirku. Tetapi aku mendongkol juga, tidak diajaknya ikut naik taxi. Kalau tidak, bukankah tersimpan uang setengah rupiah ongkos tram?
Baru beberapa hari kemudian, dia datang ke rumahku. Membawa beberapa buah buku-buku, majalah-majalah dan poster-poster. Diletakkannya di atas meja, dan dengan melambaikan tangannya, seperti seorang tukang main sunglap, dia berkata”
“Lihatlah kerjaku.”
Buku-buku dan majalah-majalah itu dibaginya dua.
“Ini sebelum aku masuk.” katanya. “Yang ini sesudah aku masuk. Lihatlah bedanya.”
Aku baca. Dalam sebuah majalah yang dikeluarkan sebelum dia masuk tertulis “Tentara Kerajaan akan datang membebaskan rakyat Indonesia yang menderita di bawah tekanan pasukan-pasukan Republik, yang merampok, membakar, membunuh… dan sebagainya. Tetapi di dalam majalah yang dikeluarkan setelah si Djamal masuk bekerja disebutkan “Maka sekarang rakyat menuntut keadilan dan kemerdekaan, dan adalah kewajiban tentara Keradjaan untuk menjaga dan mengembalikan keamanan dan kemerdekaan ini.”
“Engkau lihat bedanya?” kata si Djamal dengan bangga. Demikian juga poster-poster itu. Kalau dahulu memperlihatkan kejelekan dalam daerah-daerah Republik, maka sekarang poster-poster itu memperlihatkan pekerjaan pembangunan dalam daerah-daerah yang diduduki Belanda, sawah-sawah yang penuh dan subur, pabrik yang bekerja, rakyat yang tertawa dan menari-nari karena kegirangan menerima pembahagian pakaian dan makanan.
“Engkau lihat bedanya?” kata si Djamal.
Aku hanja mengangguk-angguk saja.
“Telah banyak kawan-kawan yang dapat aku ajak ikut bekerja dengan siasat baru ini,” katanya pula dengan bangga. Cobalah engkau pikir-pikir dahulu. Lowongan di kantor itu akan aku tahan sementara menunggu putusanmu. Engkau, kalau benar-benar seorang nasionalis, mesti berani. Berani tahan dicap dan diejek NICA oleh orang-orang Republik yang bodoh-bodoh itu. Nanti sejarah yang akan membuktikan. Dan mereka yang mengejek itu nanti juga akan menerima pembalasan.”
Kemudian dia pergi. Dan baru beberapa minggu sesudah itu, aku bertemu kembali dengan si Djamal. Dia sedang menunggu tram. Berjemur di panas.
“Mengapa engkau tidak naik mobil,” tanyaku.
Si Djamal tersenyum.
“Aku telah berhenti,” katanya.
“Mengapa?”
“Ah,” kata si Djamal, “sekarang aku akan pindah ke perdagangan. Lapangannya masih luas. Ada rencana baru. Perdagangan Indonesia modern yang mesti diorganiseer. Dan di kantor juga sudah cukup banyak orang yang mau bekerja dengan Belanda.”
Belum sempat aku bertanya apa rencana perdagangan Indonesia modernnya itu, tram telah datang, dan si Djamal melompat ke atas tangga. Dan dari atas tangga, dia berteriak, “Nanti aku datang ke rumahmu membicarakan rencana baru itu.”
Jika dia telah datang nanti, akan aku ceriterakan pula rencana perdagangannya ini. Barangkali si Djamal hendak jadi importeur pula, ikut-ikut Gindo. Jika demikian, maka ceriteranya akan aku namakan SI DJAMAL DJADI IMPORTEUR.
*NICA – Netherlands Indies Civil Administration (Dutch: Nederlandsch-Indische Civiele Administratie
Source: Si Djamal Berinfiltrasi (Young Jamal Infiltrates The Enemy) is a story from the short story collection of Lubis, Mochtar. Si Djamal : dan tjerita2 lain / oleh Mochtar Lubis Gapura Djakarta 1950, p. 25.
Featured image credit: Nederlands: Collectie / Archief : Fotocollectie Van de Poll, Reportage / Serie : Oorlogsvrijwilligers in Malakka en Indonesië; Beschrijving : Aankomst van medewerkers van de NICA (Netherlands Indies Civil Administration) op het vliegveld Kemajoran; Datum : 19 november 1945; Locatie : Indonesië, Kemajoran, Nederlands-Indië; Trefwoorden : auto’s, vliegtuigen; Fotograaf : Poll, Willem van de, [onbekend]; Auteursrechthebbende : Nationaal Archief; Materiaalsoort : Negatief (zwart/wit); Nummer archiefinventaris : bekijk toegang 2.24.14.02; Bestanddeelnummer : 255-6947; Date 19 November 1945; Source http://proxy.handle.net/10648/aee6c4e8-d0b4-102d-bcf8-003048976d84; Author Willem van de Poll




